Bab 06 - Kehidupan Yang Berjalan Monoton

91 8 0
                                    

Hidupku tidak begitu menderita dibandingkan orang lain di luar sana, tapi hidupku juga tidak begitu menyenangkan.

Di lain waktu, aku bisa menertawakan lelucon garing seorang teman, namun kemudian kembali merasakan kekosongan.

Walaupun begitu, aku merasa hidup ini masih layak untuk dijalani dan disyurkuri.




Mei, 2013

Kehidupan sekolahku tidaklah menyenangkan, namun juga tidak menyedihkan. Bagiku, kehidupan sekolah tidak lebih membosankan dari sebuah hafalan teori yang diulang terus-menerus untuk masuk ke dalam kepala. Aku sudah berjanji pada Ayah dan Ibu untuk belajar dengan rajin, meskipun itu membuatku seolah terpenjara oleh kata 'prestasi'. Karena aku juga berusaha untuk tidak menyesali apa pun dari semua pilihanku di masa lalu yang membawaku sampai di titik ini.

Setelah upacara yang sangat panjang dan membosankan. Akhirnya, kami semua bisa masuk ke dalam kelas untuk mengikuti mata pelajaran jam pertama. Perasaan suntuk yang beberapa menit lalu aku rasakan setelah berdiri di tengah lapangan, di bawah sinar matahari pagi—entah kenapa terasa cukup terik untuk sekedar berdiri di bawahnya, lalu mendengarkan 'ceramah' panjang, terbayarkan ketika Rendi—ketua kelas kami mengatakan bahwa Pak Irfan ada halangan hingga tidak bisa mengisi kelas.

Hal tersebut tentu segera disambut dengan sorak-sorai penuh kebahagiaan oleh teman-teman sekelas karena terbebas dari pelajaran sejarah. Tidak perlu aku menceritakannya dua kali bagaimana para anak-anak dikelas saat jam kosong. Kalian bisa membayangkan betapa berisik dan rusuhnya mereka. Bagi anak sekolah seperti kami, jam kosong adalah surga yang sederhana, selain bunyi bel pulang sekolah yang terdengar lebih indah dari suara penyanyi terkenal dunia.

Beberapa teman laki-laki, duduk bergerombol di pojok kelas. Paling pojok. Berkutat dengan ponsel, sesekali terdengar celetukkan—bagi yang mendengarnya, pasti tahu apa yang sedang anak-anak itu bicarakan di sudut sana.

“Aku wes download sing paling anyar. Wuih  ... bodine mantep tenan!” Alex yang akrab dijuluki Joko oleh teman-teman sekelas karena logat Jawanya yang begitu kental, menjadi pemimpin gerombolan di pojok kelas.

Gedhe ora iki? Jepang opo Barat?” Adit menyahut dengan semangat. Aku hanya menggelengkan kepala mendengar riuh percakapan mereka dari mejaku.

Sementara di sisi lain kelas, teman perempuan, duduk saling berhadapan di salah satu bangku yang mereka tata menjadi satu, membicarakan hal yang menurutku sama sekali tidak penting. Mulai dari menggosipkan kakak senior yang tampan, pacar baru, sampai membicarakan hewan peliharaan. Pandanganku bergulir pada barisan bangku nomor dua di meja paling belakang, gadis berkaca mata tebal yang kutahu bernama Lia itu hanya duduk diam sendirian dengan pandangan memperhatikan gerombolan anak perempuan yang sedang sibuk mengobrol. Ada perasaan kasihan melihatnya yang selama ini lebih banyak diabaikan oleh teman-teman sekelasku, aku pun merasa bersalah karena tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya.

“Woi! Yang piket siapa tadi? Kenapa spidolnya enggak diisi?” Teriakan Fitri si sekretaris kelas, menggema, menarik perhatian beberapa anak yang tadinya sibuk sendiri.

“Noh, si Dian! Katanya males ke kantor, enggak mau ketemu Bu Asri!” celetuk Joko menunjuk Dian yang duduk di bangku paling belakang. Anak laki-laki berkulit sawo matang dengan rambut keriting itu sedang sibuk dengan ponselnya, bermain game.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang