“Setiap orang memiliki rubanah di hatinya, dan di dalam rubanah itu, mereka menyembunyikan rahasia. Sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Apa yang kamu sembunyikan di dalam rubanahmu?”
“Laut.”
Aku menyebutnya laut.
Laut yang dalam dan gelap.
Laut yang terus menarikku tenggelam ke dasar.
•
••
•Suara kejaran ombak memenuhi telinga. Kami berdiri bersisian di pesisir pantai, memandang bias jingga di kaki cakrawala. Mataku terpejam, merasakan angin yang menampar lembut wajahku dan menerbangkan rambut panjangku ke segala arah. Menikmati sapuan ombak di kedua kaki telanjangku.
Dia menepati janjinya untuk mengajakku ke pantai di akhir minggu ini. Aku berpaling, menatapnya yang berdiri di sebelahku, sepasang netra coklat gelapnya tengah fokus menatap hamparan laut.
“Kamu pernah ke pantai?” Dia bertanya di sampingku dengan tatapan yang tak lepas memperhatikan gulungan ombak di depan sana. “Aku sering datang ke sini, dulu," katanya menggunakan kalimat lampau.
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya. “Aku tidak pernah ke tempat ini, tapi aku ingat saat terakhir kalinya ke pantai dua tahun lalu waktu study tour dengan teman SMP-ku.” Aku menunduk, memandangi ombak yang menyentuh kakiku. Perasaanku mulai tak menentu.
Aku masih ingat ketika Ayah dan Ibu mengajakku ke taman bermain, kenangan itu membekas dengan jelas dalam ingatanku. Kala itu, aku terpukau dengan lampu warna-warni, deretan pedagang mainan, orang berpakaian badut melambai ke arahku, dan musik yang ceria menggema di setiap sudutnya. Aku merengek pada Ayah untuk minta dibelikan kembang kapas. Aku juga masih bisa mengingat dengan jelas wajah Ibu yang tersenyum ketika menungguku di bawah lampu warna-warni di depan komedi putar sembari melambai padaku. Senyumnya tampak bersinar di bawah cahaya lampu. Setiap kali aku memejamkan mata menjelang tidur, aku akan mengulang kenangan itu dalam benakku, sebagai obat untuk menyembuhkan luka atas kehilangan yang aku rasakan.
Aku mendongak, menatap wajahnya dari samping. Untuk pertama kalinya, aku melihat sorot mata yang sangat kesepian. Di balik mata itu, aku melihat luka dan kerinduan pada saat yang bersamaan.
“Saat usiaku delapan tahun, Ayah sering mengajakku ke sini. Bukan piknik keluarga pada umumnya, lebih tepatnya aku yang merengek pada Ayah untuk mengajakku piknik.” Kak Devan berjalan lebih ke tepi, membiarkan ombak menerpa kaki telanjangnya.
“Saat itu aku tidak mengerti kenapa Ayah selalu membawaku ke sini. Saat itu aku juga tidak mengerti kenapa Ayah hanya memandang laut dengan tatapan kosong untuk beberapa lama.” Dia membalikkan badannya, lalu menatapku dengan senyum getir.
“Kali ini, aku tahu alasannya.” Dia berjalan ke dekatku, lalu mendudukkan tubuhnya di atas pasir. Sorot matanya mulai menggangguku.
“Seharusnya aku bertanya padanya kenapa senyumnya begitu singkat, kenapa wajahnya selalu sedih setiap kali kami datang ke sini. Seharusnya aku bertanya padanya apakah Ayah bahagia hidup bersama aku dan Mama. Seharusnya aku menjadi anak yang lebih baik untuk mereka, sehingga kami tidak akan berakhir seperti ini.” Ada kegetiran dalam nada suaranya, namun dia masih memaksakan seulas senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Novela JuvenilRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...