#35 Renggang

678 142 15
                                    

Dua hari ini aku terus memikirkan kata-kata Gina dan Airin setelah kami makan siang bersama kak Doyoung waktu itu. "Gue tadinya nggak mau ngomong hal ini, tapi kayaknya lo sendiri udah tau soal gimana Jaehyun di belakang lo" di toilet Gina mengatakan hal itu, sementara Airin menarik-narik lengan seragamnya seolah ingin menahan.

Gina saat itu meminta Airin menceritakan segalanya, tentang apa yang Airin dengar dari obrolan Jaehyun dan para anggota band yang lain ketika acara ulang tahun sekolah. Bagaimana Jaehyun berbicara tentang rasa kasihannya padaku karena tinggal dengan seorang Ayah yang temperamental, juga soal dia yang merasa tidak bisa meninggalkan aku karena berpikir hanya dia yang aku miliki selama ini, setelah Johnny memintanya menjauhiku karena sosok Tasya.

Sejujurnya tidak ada yang salah dengan apa yang diucapkan Jaehyun, dia benar soal segalanya. Tentang Papa yang tempramen dan aku yang selama ini memang menggantungkan diri padanya, seolah hidupku hanya berputar untuk sosok Jaehyun saja. Dia tidak pernah benar-benar mengatakan dengan jelas apa yang dia suka dan tidak suka, hingga terkadang senyum Jaehyun yang selalu dia tunjukkan padaku itu membuat aku salah mengartikan perasaaannya.

Aku merasa bersalah padanya karena telah membebani dia dengan perasaan sepihakku selama ini, tapi entah bagaimana sesuatu dari dalam hatikku menolak untuk menerima jika hanya akulah yang salah disini. Karena itulah, ketika melihat sosok Jaehyun aku lebih senang untuk menghindar darinya, menolak mengakui jika perasaanku padanyalah yang membuat semuanya lebih rumit.

"Dit, please gue mau ngomong. Bentaran aja, ga sampai sepuluh menit." Sore itu setelah pulang sekolah Jaehyun dengan terburu-buru turun dari motornya untuk menghampiriku yang baru saja akan masuk ke rumah. Aku berhenti ketika Jaehyun berdiri tepat di depanku, mencoba menghadang aku yang akan membuka pintu rumah.

Tangannya menutupi lubang kunci pintu rumahku, membuat aku terpaksa memberanikan diri menatap matanya. "Lo nggak takut sama gue, Jae?" aku mengatakan hal itu secara random ketika wajah Jaehyun mengingatkan aku tentang kejadian di foodfest. Tawa Jaehyun dan teman-temannya yang berlari-larian di kepalaku membuat rasa kesalku kembali datang.

Terlihat jika Jaehyun mengerenyitkan dahinya, meski begitu sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum yang terlihat canggung. "Kenapa gue harus takut, Dit?"

Melihat itu membuat aku dengan mantap mengambil satu langkah untuk mendekat padanya lantas membuka mataku lebar-lebar di depan wajahnya, "Bukannya tatapan mata gue nyeremin?" aku berhenti sebentar,

"Lo harusnya gemetaran sekarang, ditatap cewek yang tatapannya serem plus punya orangtua psikopat" lanjutku melantur, mengulang kata-kata Johnny yang aku dengar malam itu. Hal itu sukses membuat Jaehyun menurunkan sudut bibirnya, bahunya merosot setelah tahu jika apa yang dia khawatirkan tentang sosokku menjadi kenyataan.

"Itu cuma candaan Johnny, Dit." Dia beralasan, tapi melihat aku tidak memberikan respon apapun sebuah permintaan maaf refleks terucap dari bibirnya. "Maaf."

Dia melanjutkan "Gue juga kesel waktu dia ngebercandain soal keluarga lo, Dit. Tapi lo tau sendiri kan nyokap gue nyuruh gue buat nggak bikin masalah ama Johnny, gue nggak bisa apa-apa. Johnny sekarang sahabat gue, Dit."

"Terus gue bukan sahabat lo?" aku membalas ucapan Jaehyun, membuat dia terlihat bingung.

"Bukan gitu maksud gue. Tapi Papa lo, dia kan emang—" Jaehyun tidak melanjutkan kalimatnya ketika ia melihat mataku telah memerah menahan sesuatu yang akan jatuh.

"Denger Jaehyun," aku mengelap air mataku sebelum Jaehyun melihatnya jatuh. Kemudian menegakkan tubuh sambil menunjuk dada Jaehyun dengan jari telunjukku, "Mau sebrengsek apapun orang tua gue, lo atau siapapun di dunia ini nggak punya hak buat ngejelek-jelekin mereka."

Jaehyun membisu setelahnya, aku menepuk lengannya dengan punggung tanganku memberi pesan tersirat jika aku memintanya menyingkir dari pintu rumahku. Dia menurut, mengerti jika aku tidak ingin mengatakan apapun lagi padanya.

Tubuhnya masih berdiri di depan rumahku ketika aku memutar kunci bahkan ketika sudah masuk kedalam, seolah pikirannya benar-benar berubah menjadi kosong setelah mendengar kalimat terakhir yang aku ucapkan. Jaehyun yang tahu jika aku menaruh perasaan padanya sepertinya terkejut aku bisa mengatakan hal demikian demi membela orang tua ku yang di pikirannya bahkan tidak lebih banyak memberikan perhatian pada diriku dibanding dirinya.

Tapi aku cukup yakin, kedepannya Jaehyun akan mengerti. Karena apa yang aku katakan padanya adalah dorongan insting yang muncul secara naluriah. Insting seorang anak untuk menjaga orangtua mereka.

.

.

.

Tbc

[✔] BF ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang