#40 Berhenti [2]

610 129 13
                                    

"Kenapa Papa selalu mukul aku kaya gini?!" Sama dengan Papa, aku tahu saat itu mataku juga ikut memerah. Pandanganku berkabut, air mata sudah hampir tumpah, tapi aku benar-benar ingin menyelesaikan semuanya disini. Aku benar-benar ingin berhenti dari semua rasa sakit yang diberikan olehnya.

Rasa panas dan perih di pipiku kembali membuatku mengingat perkataan Jaehyun dan teman-temannya, rasa malu yang aku coba sembunyikan sebab tertawaan juga bisik-bisik orang tentang luka dan lebam yang sering aku dapatkan sepuluh tahun ini bersatu menjadi amarah. Dadaku sesak bukan main, semua hal itu terkumpul disana. Mereka datang terlalu terburu-buru hingga rasanya jika tidak aku ungkapkan sekarang, dadaku bisa meledak saking sesak-penuhnya.

"Dita malu, malu diliatin orang-orang tiap kali ada lebam di muka Dita. Malu karena Dita harus ngebelain orang yang jelas-jelas udah nyakitin Dita. Malu karena Dita bahkan nggak bisa ngerasa pantes buat sekedar suka sama seseorang—"

Aku berhenti sejenak, menatapnya yang kini tubuhnya sedikit mengendur. "Papa selalu nyalahin Mama yang udah ninggalin Papa, nyalahin orang lain buat semua hal-hal buruk yang terjadi seolah cuma Papa yang paling bener."

"Papa nggak pernah mau kalah dan ngaku salah, itu yang bikin Mama pergi."

Mendengar kalimat yang aku ucapkan dia kembali bergerak untuk meraih bahuku, sementara sebelah tangannya yang lain terangkat untuk mengacunkan jari telunjuknya pada wajahku. Aku yang tidak lagi ingin mendapat tamparan untuk yang kedua kalinya mengindar, lantas memberikan remasan kuat jari telunjuknya mencoba memberi tahunya jika akupun bisa merasa kesal. "Orang kaya Papa nggak cocok buat Mama ku." Tutupku sambil mengembalikan jari telunjuknya, mendorongnya dengan kasar.

Ia kelihatannya terkejut dengan kalimat terakhir yang aku ucapkan, sejenak tubuhnya mematung. Tapi kemudian geraman rendah, dan sebuah sumpah serapah terdengar keluar dari mulutnya sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi dari kamarku dengan langkah kasar.

Untuk beberapa saat suasana kamarku berubah menjadi amat sunyi, aura tidak mengenakkan masih tertinggal di sini membuat aku yang sudah lagi tidak kuat menahan berat badanku sendiri tersungkur di lantai kramik yang dingin. Lemas karena perasaan takut.

Tidak, tidak ada lagi rasa kasihan. Aku akan ikut dengan Mama apapun yang akan terjadi pada Papa ku. Belakangan hari-hari yang tenang dari sosoknya sejenak membuatku lupa dengan rasa sakit yang telah diberikan Papa selama ini. Tapi setelah apa yang terjadi tadi, aku benar-benar yakin untuk pergi dari sini. Pergi dari sosoknya sejauh mungkin.

"Ta, lo gapapa?" terdengar suara dari Handphone miliku yang kini ada di sudut kamar. Suara Gina menggema di sini. Disusul suara Airin yang meminta maaf karena mendengar pertengkaran aku dan Papa barusan.

Aku tidak menjawab karena malu. Malahan, aku bergerak untuk mematikan panggilan telpon itu, tidak ingin lagi mendengar kalimat apa yang akan diucapkan keduanya setelah mendengar pertengkaran tadi.

Mengingat wajah orang-orang ketika melihat tubuhku yang penuh lebam saja sudah membuatku merasa direndahkan, aku tidak ingin lagi melihat mereka dengan tatapan yang lebih membuatku berada jauh di bawah.

Sejujurnya jika diingat-ingat lagi, selama ini aku selalu bekerja keras pada studiku hanya karena aku tidak ingin membuat orang-orang membenarkan label buruk mengenai anak broken home padaku. Aku terlalu berusaha membuatku tidak memiliki sisi busuk, selalu bersikap sok baik sehingga yang aku dapat dari orang-orang hanyalah rasa iba.

Aku tidak pernah benar-benar melakukan apa yang aku suka, selalu terlalu memikirkan apa yang akan orang lain pikirkan jika aku melakukannya dan pastinya dengan label yang mereka sematkan padaku.

Tapi untuk malam ini dan seterusnya, aku bersumpah itu tidak akan terjadi lagi.

Pada handphone milikku, aku mencari nomer Mama. Menscroll dengan tidak sabaran seolah-olah tidak ingin jika nanti rasa bimbang kembali datang padaku dan membuatku mengurungkan niat.

Untung saja, tidak sampai dering ketiga Mama yang berada di seberang sana sudah lebih dahulu mengangkat panggilan telpon dariku. Membuatku lantas mengatakan apa yang ingin aku tanyakan padanya. "Halo, Ma—" sapaku.

"Soal ajakan Mama buat ikut ke Semarang, kalo Dita bilang mau. Gimana?"

.

.

.

Tbc
_
Yahaa..
Jaehyun nggak muncul lagi di Chapter ini.
Gimana, udah kangen?

[✔] BF ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang