#44 Menutup Hati

606 115 3
                                    

Buku materi pelajaran Sejarah ada di hadapanku, berkali-kali lembarannya aku buka dari halaman satu ke halaman yang lain, kalimat pertama hingga kalimat akhir di paragraf satu aku baca berulang, tapi sayangnya tidak ada satupun kata yang menempel di ingatanku. Fokusku buyar dengan percakapan kecil di ruang tamu yang terdengar samar-samar hingga ke kamarku. Di sana, ada papa dan mama, tengah berbicara mengenai kepindahanku yang bisa dibilang akan cukup mendadak.

Mama bilang aku akan pindah tepat ketika ujian semester selesai.

Wajah mama, aku ingat betul bagaimana ekspresi kaku yang dibuatnya ketika menginjakkan kaki pada keramik putih rumah kami yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya. Apalagi ketika melihat wajah papa yang juga sama kakunya dengan miliknya. Aura canggung mengudara tanpa bisa dicegah, dan aku terjebak berada di tengah-tengahnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya mama menyuruhku masuk kedalam kamar untuk kembali melahap materi yang akan diujikan senin depan.

"Terserah kamu, saya nggak mau lagi pusing mikirin hal-hal nggak penting kaya gini. Kamu mau ambil dia? Silakan. Saya sudah nggak peduli lagi."

Suara berat papa terdengar dengan jelas hingga dalam kamar, membuat aku bisa mendengar obrolan mereka berdua tanpa bersusah payah. Mama tidak menjawab apa-apa kecuali mengucapkan terima kasih, nampaknya juga tidak ingin repot-repot kembali berinteraksi dengan mantan suaminya itu untuk hari-hari kedepannya.

"kalau begitu—" kalimat mama dipotong.

"Kita sudah selesai, kamu bisa pergi sekarang." Kata Papa yang mana kalimatnya terdengar ambigu, aku tahu maksud 'selesai' disini adalah percakapan mereka. Tapi ketika mendengar itu, aku merasa jika papa tengah menyisipkan perasaannya yang begitu terluka karena kepergian mama di dalam kalimat yang ia ucapkan.

Kamu bisa pergi sekarang.

Apa benar jika papa sekarang sudah rela jika mama pergi? Aku, sejujurnya ragu.

Bangun dari tempatku duduk aku berniat keluar untuk mengantarkan mama, namun hal pertama yang aku lihat ketika membuka pintu kamarku yang mengarah langsung ke ruang tamu adalah sosok papa yang tengah memalingkan dirinya yang sebelumnya menghadap mama kemudian berjalan dengan santai yang dipaksakan ke dalam kamarnya sendiri.

Di ambang pintu kamar, aku kembali tahu papa kalah dengan ego miliknya.

Aku tahu dengan benar jika papa begitu mencintai mama, pun ketika setelah sepuluh tahun kepergian sosok itu. Tapi melihat bagaimana dia bahkan tidak bisa mengatakan permintaan maaf yang seharusnya dia ucapkan untuk tahun-tahun menyakitkan yang dilalui mama, aku sekarang paham kenapa mama memilih untuk menyerah terhadapnya meski dia pun juga masih mencintai papa.

"Dita antar sampai ke depan ya, Ma?" tawarku yang langsung diangguki olehnya.

Kami berdua berjalan dengan suasana canggung yang masih bersisa setelah pertemuan pertama mama dan papa setelah sepuluh tahun lamanya. Di samping mobil mama yang untuk pertama kalinya terparkir di pekarangan rumahku ada sosok penuh lebam yang begitu aku kenali. Jaehyun ada di sana dengan tatapan tak nyaman, namun segera berubah ketika melihat aku dan mama.

Laki-laki itu menyapa mama dengan suara halusnya, dia bersikap sopan seolah sengaja ingin membuat ingatan mama tentang sikap kasarnya di kala pertama mereka bertemu tergantikan dengan hal-hal yang lebih baik. Jaehyun bahkan mendekat kemudian mengulurkan tangannya untuk salim, membuat baik aku juga mama saling berpandangan heran dengan sikapnya yang tiba-tiba.

Mungkin tamparan dari mama laki-laki itu membuat kesopanan Jaehyun yang sempat hilang akhirnya kembali.

"Mama pulang dulu ya, kalian baik-baik." Katanya sambil melemparkan senyum ke arah Jaehyun yang ditanggapi dengan baik olehnya.

"Hati-hati di jalan, Tante." Balas Jaehyun ketika mobil mama mulai bergerak. Aku melirik sekilas dan mendapati dua cekungan pada pipi laki-laki itu muncul ketika ia ikut menolehkan kepalanya padaku. Pun ketika pagi hari datang dan kami tanpa sengaja bertemu di koridor lantai satu, cekungan yang orang-orang sebut sebagai lesung pipi itu masih tertangkap indera pengelihatan milikku. Jaehyun bersama teman-teman sebandnya datang dari arah area parkir berpapasan dengan aku dan kak Ten yang sudah lebih dahulu bertemu di gerbang depan, dari lima orang yang ada di sana hanya Jaehyun yang dengan simpel dan tanpa beban mengajukan sapaan.

"Kalo elo nyapa Dita pake ekspresi kaya gitu setelah putus sama Tasya, orang-orang bakalan ngira gosip itu bener, dodol." Johnny dengan kekehannya yang dipaksakan merangkul Jaehyun, memaksanya kembali berjalan ke arah yang berbeda dari tujuan awalku dan kak Ten, nampaknya akan pergi ke kantin.

Aku yang tidak mau ambil pusing mengajak kak Ten lanjut berjalan ke arah tangga lantai dua untuk menuju ruang ujian kami. Tapi munculnya seseorang di sisi sebelah kananku kembali menghentikan langkah kami berdua yang bahkan sejujurnya belum benar-benar melangkah.

"Ruangan kita sebelahan kan, Ta?" Jaehyun kembali muncul sambil menanyakan hal itu.

Aku tidak menjawab, lebih memilih untuk melihat ekspresi apa yang dimunculkan di wajah milik Johnny. Sebuah lekungan macam bulan sabit terbentuk oleh bibirnya, yup aku menemukan sebuah senyum manis disana.

Namun tunggu dulu, kenapa buku-buku kuku milik Johnny menekan tali ranselnya hingga memutih?

Aku membalas tersenyum padanya, melihat ia pura-pura tersenyum seperti itu meski sebenarnya kesal membuat pagi hariku terasa benar-benar hebat.

.

.

.

Tbc

[✔] BF ▪Jaehyun▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang