Twenty Four

2.6K 210 0
                                    

           Cailsey terbangun dengan napas yang putus-putus. Dadanya tampak naik turun dan matanya membulat menatap langit-langit putih ruang kesehatan. Sialan, mimpi buruk itu masih saja mengganggu tidurnya. Gadis itu lalu berusaha untuk duduk, dan meringis tertahan saat rasa sakit di punggungnya menyebar. Cailsey mendengus pelan, untuk duduk saja rasanya begitu sulit.

            “Kau bermimpi lagi?” suara serak Elise terdengar. Gadis itu duduk di atas ranjang pasien lain yang berada di samping Cailsey, sambil mengucek matanya. Ia memang menemani Cailsey tidur di ruang kesehatan. Katey bilang ia bisa melakukannya selama masih ada ranjang pasien yang kosong. Dan Cailsey adalah satu-satunya orang sakit di ruangan ini.

            “Bisa ambilkan aku minum?” Cailsey berucap pelan.

           Elise mengangguk dan turun untuk mengambil air di ujung ruangan. Cailsey menghela napas di tempatnya, merasa heran akan mimpinya barusan. Tidak. Ia tidak memimpikan orang tuanya, tapi ia bermimpi tentang Justin. Ia melihat Courtney membunuh lelaki bermata emas itu dengan sadis, menusuk jantungnya berkali-kali dan...

            “Ini.” Cailsey tersentak, menatap Elise yang sudah berada di depannya. Elise meletakkan sedotan terlebih dahulu lantas mendekatkan ujungnya ke bibir Cailsey, cukup membantu mengingat Cailsey masih belum bisa duduk dengan tegak.

            “Kau harus memberitahukan ini ada kakakmu. Telepon Connor atau Carlos dan beritahu semuanya, kau tidak bisa terus-menerus seperti ini.”

           Cailsey diam dan memilih untuk terus meneguk air untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Setelah gelas itu kosong, Elise meletakkannya di atas meja.

            “Tidak perlu. Mereka sudah cukup sibuk membanting tulang untuk biaya sekolah dan biaya hidup kami ke depannya. Aku tak mau menyusahkan.”

           Elise menggeleng pelan melihat sepupunya yang satu ini. “Kalau begitu kita beritahu orang tuaku, mereka pasti mau mencari seorang psikiater untukmu.” Kata-katanya kali ini membuat Cailsey mendelik tajam.

            “Aku tidak gila, Elise!” ketusnya tidak senang.

            “Aku tahu kau tidak gila. Kita hanya perlu menghilangkan trauma aneh mu!” sahut Elise pelan. “Aku hanya khawatir padamu.”

           Cailsey menghembuskan napas panjang, ia sama sekali tak memikirkan hal itu. Yang ia pikirkan saat ini hanya Justin. Menurut pengakuan Riley, Justin telah membuat wajah Courtney babak belur, ia dan Courtney juga di sidang di ruangan Mrs.Marcus.

            “Justin baik-baik saja!”sergah Elise cepat sambil tersenyum menenangkan. Ia sangat memahami apa yang Cailsey rasakan saat ini. “Ia memang di hukum, tapi semua itu akan di tunda hingga ia pulang. Ia akan tetap berangkat besok, dan posisimu digantikan oleh Skandar.”

           Cailsey tak terlalu terkejut mendengar kebenarannya. Ia tahu Mrs.Marcus takkan melepaskan Justin begitu saja meskipun ia bermaksud baik. “Dan Courtney?”

            “Ia dikeluarkan.”

           Cailsey diam. Ia memang sangat menyayangkan hal yang dilakukan Courtney pada dirinya, tapi ia juga tak ingin Courtney dikeluarkan dari sekolah. Bagaimanapun juga Courtney hanya seorang murid biasa, ia punya ambisi yang cukup besar untuk belajar. Meskipun ia aneh, tapi Cailsey yakin ada sesuatu yang menjadi alasan kuat di balik semua itu.

            “Dia memang tak sepantasnya bersekolah di sini. Ibunya sejak awal telah merahasiakannya dari pihak sekolah dan bertindak seolah anaknya normal. Dan setelah semua yang terjadi, kurasa kita tidak bisa mempertahankan Courtney untuk tetap berada di Cobham Hall.” Mata Elise menerawang, membayangkan semua hal yang terjadi dengan begitu tiba-tiba. Ia lalu menatap Cailsey yang terus diam. Sama sekali tak menyangka bahwa sepupunya akan tertimpa masalah seperti ini. Cailsey bahkan baru tiga bulan bersekolah di Cobham, masih cukup terbilang baru.

Coldest TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang