Twelve

3K 231 2
                                    

          Mini truk tua itu terhenti di depan sebuah rumah yang memiliki halaman cukup luas. Rumah itu terlihat berbeda dari rumah-rumah lainnya, asri dan memiliki nilai. Bisa di bilang, rumah ini terlalu mewah dan besar untuk ada di sebuah pedesaan, meskipun masih ada kesan sederhana yang tampak.

          Cailsey turun dengan gerakan kaku, matanya sejak tadi tak lepas dari halaman yang tampak asri dengan rumput dan satu pohon rindang di tengahnya. Rumah Cailsey tak punya halaman depan seluas ini, tentu saja ia takjub. Gadis itu lalu melangkah ketika Justin berjalan melewatinya. Ia memang tak punya pilihan lain selain mengikuti jejak laki-laki tampan itu. Ingat ini rumah siapa?

          Justin masuk ke dalam bangunan indah itu, mencari seseorang yang menjadi sosok pertama yang ingin ia jumpai di rumahnya. Cailsey masih mengikuti, ia hanya diam dengan wajah datar andalannya, sesekali gadis itu melirik dan melihat detail-detail ruangan yang ia lewati.

           “Justin? Kau sudah datang ternyata!” suara lembut itu terdengar, di susul dengan sosok wanita paruh baya yang muncul dengan senyum keibuannya. Cailsey melihat Justin tersenyum, matanya mengerjap tak percaya. Ini adalah pertama kalinya Cailsey melihat Justin tersenyum, dan dia sangat tampan. Dalam waktu singkat ia sudah memeluk wanita itu dengan erat sekaligus manja, mengungkapkan rasa rindu dalam dirinya.

          Cailsey tersenyum kecut melihat pemandangan itu, ia melihat sisi yang berbeda dari seorang anak lelaki remaja yang sangat menyayangi ibunya. Bersikap berbeda dan memperlakukan wanita berharganya dengan istimewa. Sedangkan Cailsey? Ia memperlakukan ibunya hampir sama dengan ia memperlakukan orang lain. Meskipun Cailsey selalu menjaga sikap dan berusaha keras untuk berbicara sopan. Gadis itu ingin memperbaiki semuanya, tapi sudah terlambat. Ibunya sudah pergi dan takkan pernah kembali lagi. Itu kenyataannya.

           “Aku baik, mom.” Justin menjawab bisikan dari wanita tadi, lalu melepaskan pelukannya dan beralih memandang Cailsey yang masih terdiam. Wajah Justin kembali datar, ia memberi kode agar Cailsey mendekat, dan tentu saja Cailsey mengerti itu. Dengan gerakan kelewat kaku dan canggung, gadis es itu melangkah menghampiri Justin dan wanita yang kini menatapnya takjub. Oh, Cailsey tak pernah di hadapkan dengan situasi seperti ini. Ia merasa bingung bagaimana harus bersikap.

           “Aku membawa teman, mom. Itu tidak masalahkan?” tanya Justin kembali tersenyum untuk ibunya. Wanita itu hampir melotot tak percaya. Ini adalah keajaiban.

           “Tentu tidak! Kau bercanda? Itu tentu bukan masalah!” sahut ibu Justin dengan nada senang berlebihan, namun meskipun begitu, tatapan penuh kasihnya masih bisa terpancar dengan jelas. “Oh, lihat, kau sangat cantik. Siapa namamu, nak?”

          Cailsey merasakan tenggorokannya tercekat ketika tangan halus itu mengenggam jemarinya. Ia gugup, sangat gugup. Terlebih ketika ibu Justin memandangnya lembut dan penuh perhatian. Perlahan, Cailsey menarik sudut bibirnya, berusaha tersenyum senatural mungkin.

           “Cailsey..” jawab Cailsey pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, terlihat begitu gusar dan gelisah. Justin dan ibunya saling melempar senyum, “Well, panggil aku Pattie.” Ucap wanita itu membuat Cailsey mengangguk dengan gerakan terpatah.

           “Jadi, apakah kalian... berpacaran?” goda Pattie membuat Justin mendengus dan menatap ibunya kesal. Cailsey hanya diam, ia memang sering mendapat godaan dari orang-orang di sekitarnya, tapi Cailsey tak pernah menanggapi, tepatnya ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi godaan atau lelucon-lelucon itu.

           “Mom.. sudah aku bilang dia hanya temanku” ketus Justin kesal. Gadis berambut coklat ikal itu mengangkat alis. Well, Justin terlalu berbeda ketika bersama ibunya. Lalu kekehan pelan terdengar dari Pattie, sebelah tangannya mengusap bahu Justin pelan.

Coldest TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang