Thirty

2.9K 207 0
                                    

Cailsey McCarden’s View

             Setelah mengenakan gaunku, aku segera duduk di pinggir ranjang Savanna, dimana ia sudah siap dengan semua alat-alat tempurnya. Gadis itu berdiri di depanku, mengambil bedak dari dalam tas kosmetik yang biasanya selalu ia sembunyikan di bawah tumpukan baju-bajunya.

              “Natural, okay?” tegurku sebelum ia memoles wajahku, aku melirik Elise yang baru saja keluar dari kamar mandi sejenak. Ia tampak manis dengan gaun merah mudanya, benar-benar menyimbolkan gadis yang sedang jatuh cinta.

             Di depanku Savanna menyeringai, lalu mengacungkan jempolnya. “Natural!” janjinya lantas mulai melapisi wajahku dengan bedak yang terasa lembut di kulit. Hmm.. pasti Savanna mengahabiskan lebih banyak dollar untuk semua kosmetiknya.

             Aku merasakan tangan-tangan halus Savanna yang merias wajahku dengan cekatan. Aku bukannya tak tahu tentang make-up, hanya saja aku tidak terlalu yakin dengan kemampuanku yang satu itu. Daripada mendapat hasil tak memuaskan, lebih baik aku membiarkan Savanna yang sudah jelas ahli di bidang ini bekerja.

             Tak sampai menunggu waktu yang terlalu lama ketika Savanna mengoleskan lip gloss pada bibirku. Aku mengecapnya, ada rasa stroberi di bibirku.

              “Selesai.” Ucap Savanna memandangku puas. Aku mengernyit dan segera bangkit untuk menuju cermin, dan ketika aku melihat pantulan wajahku, aku tak bisa menahan senyum. Aku kembali menatap Savanna, melempar senyum miring kepadanya, “Kau berbakat.”

             Dan ia hanya tersenyum bangga.

             Baiklah, sudah saatnya! Ini adalah prom night pertamaku, dan aku berharap semoga saja hal buruk tidak terjadi. Aku berbalik, melihat Elise yang kini menggantikan tempatku di ranjang Savanna, Kiara yang sedang mempercantik riasannya dan Stella yang mengatur rambutnya. Astaga. Aku lupa rambutku!

             Dengan cepat mencari sisir, lalu melepaskan gulungan rambut di kepalaku. Semoga bentuknya tidak buruk mengingat bahwa seharian ini aku terus menggulungnya karena kami terus berada di kamar. Aku mulai menyisirnya, dan menemukan gelombang-gelombang jelek  di rambutku. Oh! Tidak! Tamatlah sudah.

             Aku mendesah berat dan memandang rambutku melalui cermin dengan putus asa. Aku tak mungkin mencucinya dan mengeringkannya sekarang juga. Itu akan memakan waktu yang terlalu lama. Aku menghela napas dan memejamkan mata. Pasti ada jalan keluar! Aku lantas kembali menyisir rambutku, mengatur agar gelombangnya tampak lebih rapi dan bagus. Namun, setelah terus mencoba dan mengalami kegagalan, aku menyerah. Meraih karet rambut, aku baru saja akan mengikatnya ketika Stella muncul di sampingku. Menghentikan gerakanku.

              “Aku rasa kita masih punya banyak waktu untuk rambutmu.” Stella tersenyum menenangkan dan mengambil karet rambut di tanganku. “Kau akan jauh lebih cantik jika menyingkirkan benda ini.” katanya membuang karet itu ke ranjangku. Stella menyuruhku duduk, sementara ia mengambil sesuatu di laci nakasnya. Dan ketika gadis tuan putri itu kembali, Stella telah membawa pelurus rambut dan botol kecil berwarna hijau.

              “Dari mana kau mendapatkan benda itu?” tanyaku saat Stella mendekati stop kontak di kiri atas ranjangku.

              “Aku memang terus membawanya sejak datang ke Cobham. Ini selalu berguna.” Jawab Stella tersenyum manis. Aku tak meragukan itu! Terbukti sekarang bahwa benda itu berguna untukku. Stella menyisir sebagian rambutku, mengambil sejumput lantas menjepitnya. Aku mengernyit ketika benda panas itu menuruni rambutku. Stella mengulangi gerakannya, entah sampai berapa kali.

Coldest TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang