Eleven

3K 238 0
                                    

Cailsey McCarden’s View

              Aku bersyukur ketika tahu bahwa hari ini aku kembali melewati hari libur seorang diri. Hampir seluruh murid di jemput oleh orang tua nya, ataupun berada di aula sekolah karena orang tua mereka datang berkunjung. Sedangkan aku? Aku seperti anak tersesat yang tak tahu arah, sejak tadi aku hanya berjalan mengeliling gedung-gedung Cobham, melewati para orang tua yang kebetulan sedang berjalan-jalan bersama anaknya.

              Elise, Kiara, Savanna dan Stella sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Aku menolak untuk ikut, dan aku tak ingin menjelaskan mengapa aku menolak ajakan mereka. Awalnya aku berpikir untuk kembali masuk ke perpustakaan, seperti minggu sebelumnya, namun entah mengapa aku muak melihat buku-buku di sana. Dan ini untuk yang pertama kalinya. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang berbeda hari ini, aku... kesepian.

              Beberapa jam yang lalu, ketika hari masih gelap, aku kembali bermimpi. Kali ini bukan mimpi buruk yang membuatku ketakutan, tapi mimpi yang aku sendiri tak tahu harus menyebutnya apa, yang membuatku menangis sedih selama hampir sepuluh menit. Di dalam mimpi itu aku bukanlah gadis kaku dan dingin, aku begitu bahagia bersama Mom, Dad, Connor serta Carlos. Dan satu lagi, Justin-ku. Ya, memang tak ada Calis, karena dalam mimpi itu aku seperti kembali ke masa kecilku. Yang berbeda hanyalah aku tertawa, bermain bersama Connor dan Carlos, padahal dulu aku hanya mau bermain bersama Justinku.

              Lalu Mom datang mendekat, Justin sudah berlari menjauhiku, bersama Connor dan Carlos remaja yang mengejarnya. Mereka tampak begitu bahagia. Lantas aku merasakan suasana berubah, aku kembali ke umurku yang sebenarnya. Namun kebahagiaan itu tetap ada. Aku tersenyum, menikmati tangan lembut mom yang mengelus rambutku. Senyumannya yang teduh membuat hatiku tentram.

               “Apa mom akan meninggalkanku lagi?” Tanyaku dalam mimpi itu, seolah sadar bahwa Mom pernah meninggalkanku sebelumnya. Wanita yang ku sayangi itu hanya tersenyum, dan entah mengapa tiba-tiba aku menangis. Aku tahu arti senyuman itu. Mom memelukku, begitu erat. Bahkan lebih erat dari pelukannya ketika aku terserang sakit demam bertahun-tahun yang lalu. Kemudian pelukan itu terlepas, Mom membisikkan kata-kata yang tak dapat ku ingat. Aku hanya tahu bahwa dia bilang dia sangat mencintaiku. Mimpi itu membuatku merasa begitu buruk. Aku tak bersemangat, sisi di sudut hatiku terasa kosong dan hampa.

              Ponselku bergetar ketika aku memutuskan untuk duduk di sebuah kursi kayu yang melingkari pohon besar di sisi halaman Cobham. Aku mengernyit ketika nama Carlos tertera di sana. Jika boleh jujur, aku sangat merindukan kakak lelakiku itu, dia adalah pemuda yang sangat lembut dan penyayang.

               “Hallo,” sapaku dingin sedetik setelah benda pipih ini menempel di daun telingaku. Aku bisa mendengar Carlos tersenyum, aku bahkan bisa membayangkan bagaimana senyuman itu terukir di wajah tampannya.

               “Hei baby, apa kabar?” tanya Carlos di ujung sana. Hatiku bergetar ketika mendengar suaranya, aku merindukannya. Untuk pertama kalinya aku sangat merindukan Carlos.

               “Aku baik-baik saja.” Kami terdiam cukup lama setelah aku menjawab pertanyaannya. Aku bodoh, aku tahu itu. Harusnya aku ikut bertanya bagaimana keadaan Carlos di sana, bagaimana pekerjaannya dan bagaimana ia melalui harinya. Namun aku terlalu kaku untuk hal itu, keadaanku terlalu buruk untuk mencoba bersikap manis.

               “Maaf tidak bisa mengunjungimu, aku sangat merindukanmu.” Nafasku seketika sesak, aku ingin menangis mendengar suaranya yang penuh dengan penyesalan. Tak ada yang perlu di sesali, aku memang terdampar di sini. Di Dycrest, sementara semua saudaraku berada di Ottawa.

Coldest TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang