Thirty Six

2.2K 198 1
                                    

           Cailsey tampak pucat. Sudah dua hari ini tidurnya selalu terganggu. Gadis itu memang tak lagi mengalami mimpi buruk, hanya saja setiap malamnya ia selalu sulit tertidur. Dan beberapa jam sebelum fajar menjelang, Cailsey akan terbangun dan terjaga sampai pagi.

          Kini gadis itu mendesah berat, melihat bayangannya di cermin. Ini bahkan lebih buruk dari mimpi buruknya. Wajahnya benar-benar pucat karena udara dua kali lipat lebih dingin. Dan bayangan hitam di bawah matanya menambah kesan buruk di wajahnya pagi ini.

          Cailsey mengambil handuk yang telah ia rendam dengan air hangat lantas menekan handuk itu pada sekitar kantung matanya.

           “Apa kau kembali bermimpi buruk?” Stella mendekati Cailsey dan duduk di sampingnya. Sementara yang lain sedang bersiap-siap untuk berangkat ke ruang makan. Tapi mereka tetap menatap Cailsey sesekali.

           “Ya.” Cailsey lebih memilih berbohong karena ia tak ingin mengatakan bahwa yang menyebabkannya seperti ini adalah Justin. Cailsey memang tak pernah menangis ataupun melakukan hal dramatis lainnya, hanya saja, hatinya masih terlalu sakit. Ia tidak habis pikir atas apa yang Justin lakukan terhadapnya.

           “Mungkin karena kau sedang bertengkar dengan Justin.” celetuk Kiara dari balik pintu lemarinya. Semua temannya memang sudah tahu Cailsey dan Justin sedang bertengkar karena Cailsey tak pernah terlihat bersama Justin ataupun keluar di malam hari selama dua hari terakhir. Meskipun mereka tak mengetahui pokok permasalahannya, mereka tahu bahwa Justin dan Cailsey sedang perang dingin. Untuk yang kedua kalinya.

           “Sama sekali tidak.” bantah Cailsey dingin. Ia kembali mencelupkan handuknya lantas memeras dan kembali mengompres wajah pucatnya.

           “Lantas apa? Bukankah mimpi burukmu memang hilang sejak kau dan Justin berpacaran?”

          Kata-kata itu terasa begitu menusuk. Aku dan Justin tidak berpacaran, dia bilang aku hanya temannya! Jerit Cailsey dalam hati.

           “Aku merindukan keluargaku akhir-akhir ini. Hanya itu.”

          Kiara mengangkat bahu lantas menutup pintu lemari dan beralih pada sisir guna merapikan rambutnya. Stella yang berada di samping Cailsey tersenyum tulus dan mengusap bahu Cailsey lembut. “Wajahmu sudah memerah, kurasa sudah cukup.” Katanya lembut. Stella kemudian mengambil mangkuk air dan handuk basah dari tangan Cailsey. Cailsey sama sekali tak menolak, ia membiarkan Stella membawa benda-benda itu ke kamar mandi.

          Gadis itu kembali menatap cermin, menghela napas lega karena wajahnya tidak pucat lagi. Setidaknya ini akan bertahan selama beberapa waktu. Walaupun kantung matanya tidak hilang, tetap saja ia terlihat lebih baik. Cailsey menarik napas panjang dan berdiri tegap. Ia siap menghadapi harinya.

                   

          ***

          Jake dan Kevin sama-sama mencengkram lengan Justin ketika mereka sampai di depan pintu ruang makan. Justin sedikit terkejut dan berusaha melepaskan pegangan di kedua lengannya. Namun gagal.

           “Apa-apaan ini? Kalian seperti mengawal seorang narapidana.” Ketus Justin tak senang. Jake dan Kevin hanya tersenyum dan pura-pura tak mendengar. Mereka tetap menuntun Justin untuk berjalan ke arah meja di mana para gadis, Skandar dan Connor sudah berkumpul. Justin yang menyadari itu tiba-tiba kaku. Sudah dua hari ini ia tidak semeja dengan Cailsey dan yang lainnya.

Coldest TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang