Gadis itu tampak begitu gelisah dalam tidurnya, wajah dan keningnya di penuhi titik-titik keringat. Padahal udara malam ini begitu dingin. Cailsey tampak menggelengkan kepalanya ke samping kiri dan kanan, matanya bahkan masih terpejam, namun wajahnya menampakkan ekspresi tertekan dan menderita. Rengekan dan erangan kecil meluncur dari bibir indahnya, membuat siapapun yag mendengar tahu bahwa gadis itu sedang kesakitan. Ia kembali mengalami mimpi buruk, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Gadis lain yang tidur satu ruangan dengan gadis itu mulai terbangun, ia mendengar suara Cailsey di telinganya. Elise mengerjap, menyadari bahwa lampu asrama belum menyala, namun ia kembali terbangun akibat Cailsey. Hanya Elise. Ya, hanya gadis itu yang benar-benar peka terhadap sekelilingnya, sehingga suara erangan Cailsey yang kecilpun mampu mengganggu tidurnya. Elise menguap lebar, lalu duduk dan menurunkan kakinya satu per satu, ia menyambar senter di meja, tanpa melihatpun gadis itu sudah tahu bahwa senter itu selalu terletak di sana. Elise berjalan, mengarahkan sorotan lampu ke single bed milik Cailsey. Dan benar saja, gadis itu kembali bermimpi buruk.
“Cailsey, bangunlah! Cailsey!” Elise menguncang tubuh gadis itu, membantu sepupunya untuk segera terbangun. Sekaligus melenyapkan mimpi sialan itu.
“Cailsey, jangan membuatku takut,” sergah Elise terdengar cemas. Cailsey terus mengeluarkan suara kesakitannya, tubuhnya berkeringat dan ia terlihat begitu rapuh ketika air mata itu keluar dari kelopak matanya yang masih tertutup rapat. Elise mulai panik, ia meletakkan senter di atas meja dengan keadaan tetap menyala.
“Cailsey bangunlah, Cailsey!” Elise kembali mencoba, namun sepertinya Cailsey terlalu larut dalam mimpi itu, jiwanya seolah terikat oleh gambaran-gambaran buruk di benaknya.
“Elise? Kaukah itu? Ada apa dengan Cailsey?” Elise tak tahu siapa yang berbicara, ia terlalu khawatir untuk melihat siapa yang telah terbangun karena suaranya. Elise menggigit bibir bawahnya, ia mulai takut. Mereka hanya berlima dan seluruhnya gadis, Elise berpikir bahwa Cailsey kesurupan atau semacamnya. Bukannya berpikiran bodoh, Elise hanya menyimpulkan, Dycrest adalah tempat lembab yang jauh dari keramaian, semua orang tentu tahu bahwa ada sosok-sosok ‘lain’ di tempat ini.
“Cailsey, kumohon bangunlah!” gadis itu memekik tertahan, ia benar-benar panik sekaligus takut melihat Cailsey seperti ini. Elise sempat kaget ketika di sisi tempat tidur Cailsey yang lain muncul Stella, wajah lembut dan anggun gadis itu juga menampakkan mimik yang hampir sama dengan Elise.
“Apa kita perlu memanggil guru?”
“Tidak, dia memang seperti ini setiap malam,” jawab Elise yang setiap malamnya selalu terbangun karena suara-suara aneh yang Cailsey keluarkan. Gadis itu mengelap keringat di wajah Cailsey dengan selimut. Ia tak tahu lagi bagaimana membangunkan gadis itu.
“Dudukkan dia, dia pasti terbangun,” ucap Stella memberi saran. Gadis itupun merasa takut, ia tak pernah melihat orang bermimpi buruk hingga separah ini. Ia lalu membantu Elise untuk mendudukkan tubuh Cailsey dengan paksa, seketika tubuh gadis itu tersentak, seolah baru saja di hempaskan ke dunia nyata. Cailsey membuka matanya, kepalanya terasa pening dan berdenyut. Napas gadis itu juga terengah, ia menunduk mengeluarkan udara lewat mulut berulang kali. Ini menyakitkan sekaligus melelahkan baginya.
“Cailsey, kau baik-baik saja?” tegur Stella dengan suara lembutnya, seperti biasa, suara itu selalu membawa ketenangan untuk orang-orang di sekelilingnya. Cailsey menatap Stella dalam keremangan cahaya, ia lalu menoleh untuk melihat Elise, ia sadar dengan keberadaan gadis itu karena genggaman Elise yang kuat pada jemarinya. Cailsey tak punya kata-kata untuk dikeluarkan, dan ia juga belum menemukan suaranya. Hingga pada akhirnya gadis itu menggeleng, ia sedang tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Temperature
FanfictionCailsey McCarden adalah gadis yang dingin, pendiam dan selalu bersikap acuh dengan orang-orang di sekitarnya. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya bicara dan tertawa hanyalah Calis, adik sekaligus sahabat untuknya. Namun, ketika kedua orang tua C...