6. Nggak Apa-Apa?!

42.3K 3.8K 71
                                    

"Apa yang belum saya tau disini?" tanya Pak Sakti yang membuatku menggaruk kepala karena bingung akan menjelaskan darimana.

"Eh--anu-- itu..." jawabku terbata.

Kami bertiga menepi sebentar di salah satu rumah makan seafood karena Jo merengek ingin minta makan kepiting. Sudah pasti juga, Pak Sakti setuju terlebih dia perlu mengorek info lebih dalam lagi tentang bagaimana ceritanya aku bisa dipanggil mama oleh anaknya. Ah, mungkin dia takut jika istrinya nanti bertanya dan----

Aku juga takut dikira pelakor  dadakan!

"Apa Rana?" tanyanya kembali dengan sabar.

"Ya, itu awalnya Jo sendiri yang memanggil saya Mama waktu pertama kali bertemu. Saya kira dia memang tidak bisa membedakan mana ibunya sama orang lain pak mengingat keponakan saya juga sering begitu. Maklum, masih anak-anak," jawabku sambil meringis.

Pak Sakti sendiri mengernyit heran sambil mengawasi tingkah anaknya yang aktif memilin ujung kemeja batik miliknya itu.

"Agak aneh sih, Rana... tapi mungkin memang seperti itu."

Aku mengangguk saja sambil tersenyum paksa berusaha tidak menunjukkan raut canggung karena bagaimanapun juga aku tidak nyaman jika berhadapan dengan bos. Terlebih setelah tau fakta satu itu. Aku takut hal ini akan terus berlanjut.

"Jo ini siapa?" tanya Pak Sakti menunjuk aku kepada Jovano. Yang membuatku kebingungan adalah saat aku melihat senyum miring dari Pak Sakti. Tentu, ini adalah hal aneh.

"Mama aku."

"Aduh, Jo..." gemasku karena dia masih saja memanggil seperti itu pada papanya.

Aduh, mama mu ini takut dipecat, nak.

"Napa?" tanyanya dengan polos.

"Sayang, kan Mama udah bilang jangan panggil gitu. Nanti Papa marah," kataku perlahan supaya Jo tidak merasa diintimidasi.

Jo sendiri langsung merenggut, "Ihh, Mama mang napa sih Papa marah?"

"Nanti orang mengira Mama istrinya Papa," jawabku sambil meringis malu memaparkan isi pikiranku.

Pak Sakti langsung terbatuk kecil mendengar percakapan kami. Aku sampai menyodorkan segelas minuman yang sialnya itu minumanku sendiri.

"Ran, ini minuman kamu," ucap Pak Sakti yang ikut terkejut saat sudah meneguk minuman itu.

"Eh, aduh-- maaf deh Pak. Nggak fokus nggak fokus."

Pak Sakti dan Jo hanya menggelengkan kepala melihat aku.

"Aduh, Mama liat Papa aja udah nggak fokus," celetuk Jo diselingi tawa kecilnya.

Dan saat itulah aku mendengar tawa nyaring milik Pak Sakti juga. Tuhan, rasanya ingin kutenggelamkan diri ini!

👼

"Anjiiiiir, gue malu!" teriakku lantang pada bantal dan guling yang terlihat pasrah aku pukul-pukul demi menuntaskan rasa gemas campur malu karena pertemuan tadi.

"Ngapain sih gue tadi?! Aish, kampret!"

Rutukan demi rutukan kugumamkan terus karena telah bersikap bodoh di depan pasangan ayah dan anak itu. Salah tingkah membuatku selalu terlibat grass grusu bahkan menyodorkan minuman bekas ku padanya.

Ting.....

Kusambar ponselku tanpa mau melihat si penelponnya. Pasti itu Sabrina.

"Halo, Brinaaaaaaaa. Gue maluuu," rengekku kencang saat sudah tersambung dengannya. Aku berharap ini memang Brina.

"Masa gue tolol banget di depan bos. Ya ampun Brina, gimana dong ini??? Gue masih nggak percaya masa Jo itu anaknya bos gue sendiri? Bisa mampus gue kalau Pak Sakti tahu pernah gue kasih makan nasi doang. Ya gimana dong, secara Baby Jo pasti sudah hidup enak sejak dia masih di dalam kandungan namun bersama gue kemarin, mungkin Baby Jo bisa saja membatin dalam dirinya. Oh Tuhan, semoga anak itu tidak bicara macam-macam dengan Papanya!" cerocosku tanpa jeda pada sahabatku yang mungkin menjauhkan telinganya.

"Eh, aduh... Lo ngomong apaan sih? nggak ngerti gue. Coba pelan-pelan gituloh," sahut Brina.

Ah, tebakanku benar. Ternyata itu Brina. Untung saja itu bukan orang lain. Ku cek kembali layar ponselku yang menampilkan username Brina Si Bucin. Menghela nafas, aku kembali berbicara.

"Jadi gini, tadi itu gue malu pake banget. Ternyata anak yang Gue temuin depan rumah itu anaknya bos gue sendiri masa!"

"Hah? kok bisa sih?"

"Iya gatau, tadi mereka akhirnya ketemu..."

"Bagus dong, jadi anak itu balik lagi ke orang tuanya. Lagian emangnya kenapa kalau dia anak bos Lo? malah seharusnya dia patut naikkin gaji Lo karena jagain tuh bocah," kata Brina.

"Kalau Jo ga nyebut gue dengan sebutan 'mama' mungkin gue ga akan segini stressnya kali,"

"Maksudnya?"

Aku memejamkan mata, Brina ini memang bebal atau tidak mengerti juga ya dari penjelasan ku. Jujur saja, hatiku saat ini masih diambang kegusaran.

"Jo manggil gue Mama. Dan itu bikin pandangan bos sama gue sejak tadi agak gimana gitu.. Lo kudu tau sebegimana canggungnya tadi," jelasku tentang peristiwa siang tadi.

"Lah? seriusan? Yah yah, gue rasa memang Jo ga punya ibu deh," celetuk Brina yang membuatku ingin menampolnya dengan ulegan sambel.

"Terus Jo gimana bisa lahir kalau gak punya ibu begooooo, lo kira dia netas apa?!" semburku melalui sambungan telepon.

"Wo wooo, Mahmud mulai panas nih.."

"Tau deh, Brin. Gue curhat sama Lo kok malah kebawa emosi gini sih?"

"Hahah, makanya lemesin aja. Lo kira gue ga lagi stress ngadepin rentenir apa? masalah itu harus dihadapi dengan kepala dingin, Sista. Jadi beban boleh tapi tetap Lo harus rileks supaya bisa bertindak dengan bijak," katanya yang membuatku merenung sejenak.

"Apa iya?"

"Ya dong."

"Tumben Lo bijak?"

"Sialan," umpatnya kasar yang kusambut dengan tawa yang terpingkal-pingkal. Telepon terus berlanjut dengan obrolan seputar Jo, Papanya dan pastinya gosip tipis lain. Biasalah, kalau cewe lagi berdua pasti ada benih benih-benih ke-ghibah-an yang muncul tanpa disengaja. Betul?

"Moga aja bos lu duda deh, biar sekalian kalian jadi keluarga cemara beneran..." katanya di akhir percakapan yang membuatku seketika ingin tenggelam.

Itu sih halu aja.

👼

20 Maret 2021

Nyaris 3 bulan dari perkiraan. Entahlah ini tetep ngefeel atau enggak :(

Happy reading all 💓

Baby Jo And His PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang