33. Rumit

6.5K 541 48
                                        

Pijakan lantai rumah sakit ini terasa begitu dingin sampai rasanya bisa menembus kakinya seolah merasuk ke tulang dan saraf Rana. Wajah mendung dan tampilan acak-acakan menunjukkan betapa stress dan gilanya bercampur jadi satu saat ini.

Gila memikirkan permasalahan yang kian larut ini. Bahkan sampai jam enam sore tadi, cafe yang sudah ditutupi garis kuning polisi, media yang memberitakan hal ini begitu cepat hingga sempat trending satu di salah satu platform berita bahkan dari pihak rumah sakit yang seolah menggantungkan sikap optimis Rana.

Masalah ini menjadi ramai diperbincangkan sampai menimbulkan banyak spekulasi masyarakat. Ada yang mengaitkannya dengan kasus kopi sianida yang sempat trending dulu dan yang lainnya.

"Mbak, makan dulu," ajak Dini sembari menenteng bungkusan makanan di tangah kanannya.

"Nggak nafsu," katanya lesu.

"Gue ada berita baru dari rumah sakit,"

"Gimana? Jadi gimana?"

"Mbak Rana, makan dulu baru gue mau cerita."

"Ga penting itu, sekarang yang terpenting korban."

"Penting. Kalau kamu ga mau jadi korban selanjutnya," sahut seseorang di balik punggungnya.

Pak Sakti.

Akhirnya pria itu muncul setelah seharian ini menghilang.

"Pak bos, udah selesai di kepolisian?"

"Udah, tapi besok disuruh balik lagi."

Pria yang seharian ini juga ikut dimintai keterangan di kepolisian nampak sayu. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Rana. Walau demikian, mereka sama-sama yakin akan menyelesaikan masalah ini.

"Dimakan. Bukan liatin saya," katanya yang membuat Rana melotot.

"Pede! Siapa juga yang liatin situ!" jawabnya sewot.

"Dini."

"Ya, Pak???" sahut Dini cepat.

"Kamu beliin saya juga kan?" tanya Pak Sakti yang membuat Dini gelagapan. Mau dibilang tidak takut potong gaji, dibilang iya jatahnya ilang juga.

"I-iya, nih."

"Bagus. Makasih ya."

Setelah itu, Pak Sakti diam-diam memberikan kode untuk Dini. Di saat gadis itu mulai paham yang dimaksudkan bosnya, dia langsung pamit undur diri walau tidak menampik mukanya yang terlihat menahan tawa.

"Oh ya, tadi saya ditungguin Gilang di depan. Permisi," pamitnya sambil menyerahkan bungkusan itu pada Rana.

"Mau kemana? Ikut!" sahut Rana yang makin mepet ke arah Dini. Dirinya masih menahan rasa emosi pada Pak Sakti rupanya.

"Mau pulang. Emang mbak Rana mau duduk dimana? Jok motor Gilang kecil."

Rana yang mendengar itu merengut kesal tetapi justru hal itu menjadi objek tertawaan Pak Sakti.

"Apa?!" tanyanya dengan muka judes.

"Mending makan deh, saya laper seharian cuma makan roti," jawab Pak Sakti yang langsung merampas bungkusan itu dari tangan Rana.

"Ngapain kamu diam? Ga laper?"

"Nggaklah."

Kruyukkkkkk...

Tapi, lain di mulut lain di perut.

Suara perutnya terasa begitu nyaring terdengar.

"Dah, ayo makan sayang. Nanti aku kasih tau update kasusnya."

-

"Laporan pihak rumah sakit bilang kalau ini keracunan makanan. Sample kopi yang udah di cek laboratorium bilang ada racun di kopi."

Secangkir teh panas yang tersaji itu terasa tak begitu menarik perhatian Rana. Mendengar berita terbaru itu perasaannya masih tetap sama.

"Kok bisa ada racun? Kita selalu cek bahan baku makanan dan minumannya, lho."

"Ya itu yang jadi titik permasalahan sekarang. Siapa yang naruh racun itu. Dan ya, pihak keluarga masih setengah nggak percaya. Mereka mengancam akan membawa ke jalur hukum jika permasalahan ini ga kunjung nemu titik terang," terang Pak Sakti sambil menatapnya dalam.

Batin pria itu seolah ingin memeluk kekasihnya yang tengah gelisah namun apalah daya, Rana masih tidak mau bersentuhan dengannya.

"Saya sempat cek cctv, ada satu potongan yang hilang."

"Iya, tadi kepolisian juga lagi nyelidikin itu. Untungnya mereka gerak cepat," jawab Pak Sakti.

"Media gimana?"

"Ya kamu tau sendirilah. Banyak yang udah digoreng sama oknum-oknum nakal. Yang aslinya apa jadi gimana," katanya Pak Sakti yang mulai terlihat putus asa di bagian ini. Dia takut akan terjadi penggiringan opini yang salah dan malah merusak citra perkembangan cafe miliknya.

"Padahal kasus ini belum 24 jam loh."

"Namanya juga kecepatan teknologi, Ran. Penyelidikan kan memang butuh ketelitian sedangkan upload berita ga akan selama itu."

"Saya takut pelanggan nggak ada yang percaya lagi sama kita," sahut Rana gelisah dan sedih.

"Kita do'a aja semoga apa yang kita takutkan ini nggak akan kejadian," kata Pak Sakti sambil menggenggam tangan Rana. Namun, secepat kilat Rana menepisnya.

"Gausah pegang-pegang!" ketusnya.

👶

Double update ya buat yang masih setia nungguin 🤗

Bila ada kesalahan mohon dimaafkan ya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Baby Jo And His PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang