25. Sebuah Kenangan

14.9K 2.1K 65
                                    

Author PoV

Hari ini Rana sedang berada di rumah Pak Sakti sepulang bekerja. Tentunya dia menemani Jo dan merawat anak itu selama ayahnya bekerja.

Ya, rumah Pak Sakti kini sudah seperti rumah kedua bagi Rana. Bahkan dia sempat menyimpan beberapa bajunya di lemari Pak Sakti apabila sewaktu-waktu dia ingin berganti pakaian ataupun mandi.

"Belajar makan sendiri ya?" pinta Rana pada Jo yang sudah siap memegang sendok di tangannya. Anak itu mengangguk mantap.

"Oke Mama," sahutnya langsung memakan menu makan malamnya. Walau cara makan Jo masih berantakan, tapi itu bisa dimaklumi. Namanya juga anak baru belajar. Salah tidak apa-apa yang penting sudah mencoba.

Sedangkan Rana sendiri bergerak duduk di kursi depan Jo. Menunggui anak itu makan dengan lahapnya. Dia selalu menerbitkan senyuman kala bisa membuat Jo mulai belajar memahami dan mandiri.

"Makan yang banyak ya, nak," katanya dengan mengusap pucuk kepala Jo dengan sayang.

Tak lama, suara dering bel rumah berdering. Alhasil, Rana beranjak dari tempatnya duduk untuk memastikan siapa tamu Pak Sakti sore ini.

"Rekan kerja Mas Sakti mungkin ya..." gumamnya lirih menerka siapa gerangan itu.

"Tunggu sebentar," katanya lagi sebelum membuka ganggang pintu.

Seorang pria dan wanita paruh baya berdiri di hadapannya. Mereka membawa satu box besar di tangannya.

"Rana, ya?" tanya wanita itu pada Rana. Tutur kata yang begitu lembut dan halus.

Rana mengerjapkan matanya, "Iya, saya Rana. Maaf sebelumnya, Ibu sama Bapak ini orang tuanya Mas Sakti?" tanyanya sopan.

Bapak itu tertawa, "ternyata anak itu belum mengenalkan orang tuanya sama kamu ya?"

"Eh?"

"Iya, kami orang tuanya Sakti."

"Nama ibu, Marliani dan Ini Bapaknya Sakti, namanya Wiyoko Damara," kata Ibu Pak Sakti memperkenalkan diri.

"Ah, maaf Bapak-Ibu. Saya nggak mengenali. Mari langsung masuk," ungkap Rana penuh penyesalan. Dalam hatinya sudah ketar-ketir membayangkan hal selanjutnya.

Dan juga, dia takut citranya di mata calon mertua menjadi jelek.

"Santai saja. Nih Bapak sama Ibu bawain kalian bingkisan dari Medan,"  kata Ibu dengan memberikan Rana boxnya.

"Duh, makasih banyak Tante, Om."

"Loh, kok manggil gitu jadinya? manggil bapak sama ibu aja seperti tadi," sahut Bapak yang duduk di sofa ruang tamu.

Rana hanya tersenyum sopan.

"Nggak apa-apa, Nak Rana. Nggak usah sungkan. Toh, nanti bakal jadi mantu kami juga," ucap Ibu menyela pembicaraan. Dan itu membuat Rana sedikit lega, ucapan kedua orang tua Pak Sakti yang terkesan menghargai dan tidak mencelanya membuat rasa khawatir tidak diterima itu sirna.

"Baik, Bu. Sebentar, Rana panggilkan Jo. Lagi makan anaknya."

"Jo sudah bisa makan sendiri?" tanya Ibu.

"Iya, Bu. Rana udah mulai latih Jo belajar mandiri."

Ibu Pak Sakti tersenyum puas begitu pun Bapak.

"Kalau gitu, Ibu langsung ke meja makan aja ya. Jo nggak usah disuruh ke sini nanti dia nggak makan-makan lagi," kata Ibu Pak Sakti melengang masuk melewati sekat ruang tamu. Beliau menghampiri cucunya yang langsung memekik girang bertemu eyangnya.

Baby Jo And His PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang