Namaku Rana Lestari. Bisa dipanggil Rana. Salah satu makhluk Tuhan yang paling seksi, cuma kamu yang bisa terus menjerit------- wkwkwk. Canda, sayang.
Aku adalah salah satu makhluk Tuhan yang berusia 27 tahun. Perempuan yang sedang berusaha keras untuk mencukupi kehidupan sehari-hariku bersama adikku yang masih menempuh studi kuliahnya. Prinsip hidupku adalah biarlah aku saja yang susah, adikku harus sukses.
"Mbak ini chargernya gue bawa, ya," teriak Adikku yang barusaja kuceritakan yang sedang ribet persiapan keberangkatan KKN-nya di desa. Adrian namanya.
"Makan dulu sana. Biar nanti nggak laper selama perjalanan," balasku sambil tersenyum dari arah dapur untuk menyiapkan hidangan sebelum dia pergi.
"Nanti aja deh, makan di warung," balasnya yang malah membuatku jadi mengetukkan sendok sayur ke kepalanya itu.
"Heh, jadi orang tuh harus bersyukur! Udah dimasakin kok ya dianggurin malah nyari-nyari lagi."
Adrian hanya berdecak kesal yang kemudian baru menuruti perintahku untuk makan dulu. Aku jadi tersenyum dan mengusap rambutnya yang dibuat gondrong ala-ala mahasiswa.
"Ish, mbak. Gue udah bukan anak kecil lagi!" Dia selalu saja cemberut saat kuperlakukan manja seperti ini. Sedangkan aku hanya terbahak melihatnya semakin murung namun terlihat lucu di mataku. Entahlah, aku sampai sekarang selalu menganggap adik tersayang ku itu masih anak SD yang perlu ditimang daripada menganggapnya sebagai mahasiswa. Walau kutahu, dia bahkan sudah memiliki pacar.
"Tuh, rambut potong gih. Lama-lama gue lihatnya lebih mirip sarang burung."
"Iya-iya, Bunda. Bawel banget dah daritadi," jawabnya sambil mengunyah nasi satu sendok penuh sampai tercecer di meja dan sekitar mulutnya. Tuh kan, dia itu kayaknya masih perlu ditimang walau wajahnya sangar.
Inilah keseharian aku. Hidup sederhana dengan rumah kecil pemberian orang tuaku di kampung. Hidup di kota besar memang sulit tapi lebih baik seperti itu daripada hidup numpang orang tua yang sudah mulai menua dan masih saja meminta uang saku pada mereka. Jadi itulah mengapa alasannya aku yang membiayai Adrian alih-alih orang tuaku. Biarlah mereka hidup tenang di masa tuanya.
Bekerja di sebuah cafe besar yang sudah memiliki cabang di mana-mana dan menjadi penerjemah bahasa secara freelance aku lakoni. Walau lumayan capek tapi ya mau gimana lagi, nyari kerja sekarang susah bok.
👼🏻
Terik matahari yang teramat menyengat kulit tak menjadi halangan untukku terus wara-wiri keluar masuk cafe untuk ikut membantu pesanan yang saat jam makan siang begini sangat ramai. Peluh semakin bercucuran hingga aku khawatir akan melunturkan pesona badaiku.
"Mbak ini tolong kamu gantiin saya ya, saya ada urusan di atas," kataku pada salah satu karyawan lain yang baru terlihat datang saat pergantian shift mulai berlangsung.
"Siap, Kak," katanya sambil berlalu sopan padaku. Segera aku langsung melangkahkan kaki jenjang yang terbalut kulot bewarna hitam masuk ke dalam ruangan karyawan. Belum sempat aku merasakan udara segar menerpa dari dinginnya AC yang menyala, terdengar suara dentuman dari dapur.
Aku menghela nafas kasar dan buru-buru bangkit kembali dari bench dan langsung menuju dapur yang letaknya ada di samping ruangan itu. Dan yup, sudah kuduga ada kecelakaan kerja yang tidak sengaja atau bahkan sengaja-- terjadi di dalam dapur cafe.
"Ada apa ini?" tanyaku.
"Itu, Kak. Gilang nggak sengaja nyenggol rak penyimpanan piring..." jawab Dini dengan lirih karena juga takut salah. Aku mengikuti arah pandang Dini yang mengarah pada karyawan lain jadi terdistraksi dan turut membantu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Jo And His Papa
ЧиклитDi tengah malam yang mencekam karena hujan turun lebat tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara tangisan anak kecil dari arah teras. Dan karena itu pula aku mendadak memiliki gelar 'Mama' padahal masih perawan! "Mama? huaaaa," tangis anak laki-laki itu...