7. Berharap Bertemu

36.3K 3.7K 74
                                    

Dua Minggu berselang setelah pertemuan pasangan Ayah-Anak itu kehidupanku berangsur-angsur pulih kembali. Namun seperti ada yang hilang. Hatinya kembali kosong. Entahlah aku merasakan sebuah kerinduan pada bocah mungil yang menggemaskan itu. Padahal jika dihitung hari, aku hanya bertemu singkat dengan Jo.

Sambil merapikan laci meja dengan kemoceng bulu, sebuah ketukan pintu membuatku terkejut. Bangkit dari lamunan, aku membuka daun pintu itu perlahan. Mataku mengerjap tatkala menemukan adik bungsuku terlihat lusuh seperti anak hilang.

"Lah dek? kok udah balik?" tanyaku saat Adrian berjalan melewatiku dengan lesu. Bahkan dia berjalan gontai dan langsung merebahkan dirinya di sofa ruang tamu tanpa mencopot alas kaki dan jas almamater kampusnya itu. Mulutnya terbuka seperti orang ketiduran dan bahkan ranselnya dibuang begitu saja ke lantai. Aku hanya melongo menatapnya.

"Heh, Lo kenapa?" tanyaku sekali lagi sambil memunguti ranselnya yang ia buang seperti membuang sampah saja.

"Gue capek banget," keluhnya manja.

Dasar anak bungsu. Walau dia diluar terlihat semacho apapun itu tapi kalau sama keluarganya sendiri akan terlihat seperti anak manja berusia 5 tahun yang suka merengek dan akan merajuk jika tidak dituruti.

"Rahasia. Udah kak, Lo bikinin gue es aja deh. Lagi panas nih hati gue," katanya memerintah yang membuatku memukul kepalanya. Dia mengasuh kencang sambil mengusap bagian kepalanya yang kena pukulan ku.

"Lo balik-balik udah main nyuruh aja. Kenapa? Ada masalah sama KKN Lo?"

"Udah gue urusin kok. Tenang aja, adek Lo ini anak pintar," katanya yang ambigu.

"Apa sih gaje amat," cibirku sembari berlalu ke belakang menyiapkannya makan dan kebutuhannya.

Aku tahu ada yang coba adikku sembunyikan apalagi dia pulang lebih cepat dari perkiraan. Namun, itulah Adrian. Dia tidak akan membiarkan aku tahu sebelum dia sendiri menyelesaikan masalahnya. Kalau dia sudah menyerah, barulah dia menjelaskan segalanya dan mencoba membuatku mengerti. Duh, adikku yang manis ternyata sudah besar ya.

Tak berselang lama setelah membuatkan makan dan minumnya, Adrian kembali berteriak dari ruang tamu.

"Kak, handphone lu bunyi mulu!"

"Dari siapa?" tanyaku berteriak pula.

"Nggak tau, gue mager ambil hp Lo," jawabnya enteng yang membuatku berdecak kesal. Segera aku berbalik dan menghampirinya.

Ku lihat ada sebuah notifikasi dari Pak Sakti. Papanya Jo. Mataku langsung berbinar. Dengan segera kubuka cepat pesannya itu.

Pak Bos
Rana, laporan Minggu ini belum kamu setor

Mendesah kecewa karena ternyata bukan itu yang aku inginkan dari pesannya. Tapi, mengapa aku jadi se-semangat ini ya?

Me
Udah pak, bentuk soft filenya ada di fd yang kemarin saya kasih itu
Buat hard filenya emang belum

Pak Bos
Kenapa?

Me
Kan Pak Sakti sendiri yang suruh kasih soft filenya aja. Nanti cetaknya nunggu Pak Sakti langsung

Pak Bos
Iya saya lupa

Aku berdecak kesal saat melihat balasan dari Pak Sakti itu. Sudah tanya yang bukan keinginanku, lupa sendiri pula apa yang dia bilang Minggu lalu. Dan ya jujur saja, sejak kejadian super canggung beberapa saat lalu itu membuatku semakin kikuk saja jika bersinggungan dengan Pak Sakti. Padahal aku menolong anaknya bukan maling. Entahlah.

Tapi, ada setitik rasa yang membuatku ingin menanyakan kabar bocah mungil itu padanya. Namun, karena agak sungkan jadi kutahan jariku untuk tidak mengetik kalimat itu. Tapi sialnya, jariku tak mau berkompromi.

Me
Gimana kabarnya Baby Jo?

Aku menggigit bibirku sambil memiliki kuku-ku sembari menunggu jawaban dari Pak Sakti.

Aku mengira jika Pak Sakti akan membalas lama tetapi anggapanku salah. Pak Sakti membalas hanys dengan hitungan detik padahal dia tadi terlihat sudah tidak online.

Pak Bos
Alhamdulillah baik

Me
Alhamdulillah
Titip salam buat Jo ya pak, nuhun

Pak Bos
Jo rindu kamu

Kalimat itu mampu membuat mataku memanas. Seperti akan ada air yang akan menetes, buru-buru kuseka sebelun terlihat oleh Adrian dan malah dikatain cengeng.

Pak Bos
Dia ingin ketemu kamu
Dia nyariin kamu

Pak Sakti membuatku merasa semakin merindukan Jovano. Dia memang singkat bagiku namun dari dalam diriku seperti merasakan ada keterkaitan dengan Jovano. Bahkan sejak hari Jo pulang, aku tak berhenti memikirkannya.

Tentang bagaimana hidupnya kini, sedang apa dan menu makannya apa kali ini.

Pak Bos
Mamanya...

Pak Sakti sanggup membuatku jungkir balik.

👼

Di sisi lain,

"Pa, Mama kemana?" tanya anak itu yang barusaja terbangun dari tidur. Dia melangkah pelan mendekati sang ayah yang tengah sibuk di balik meja kerja itu. Jo mengucek matanya sambil memanjat kaki ayahnya untuk minta dipangku.

"Mama?" tanya Pak Sakti dengan bingung.

"Iya mama... mamanya aku yang baru ketemu?"

Pak Sakti menepuk jidatnya. Ia melupakan bahwa anaknya sudah menganggap Rana itu mamanya yang ia katakan hilang. Entah bagaimana ceritanya Jo bisa memanggil Rana seperti itu yang pastinya dia akan kerepotan untuk mencari alasan dan jawaban karena memang sebenarnya Rana bukan ibu kandungnya. Wanita yang menolongnya hanyalah karyawannya.

Sebisa mungkin dia tidak membuat Jo sakit hati karena dia takut kehilangan Jo seperti beberapa saat lalu. Sudah cukup dirinya tersiksa membayangkan apa saja yang anaknya lakukan di luaran sana di umur sekecil itu. Tetapi, kegusaran itu sirna tatkala mendapati bahwa Jo sudah diurus oleh Rana. Wanita yang ia kenal baik dan juga tidak banyak tingkah.

Lalu kali ini, apa yang harus dia katakan pada anaknya yang terus mencari 'Mama' itu?

👼

21 Maret 2021

Jujur aku kadang lupa pake sudut pandang yang mana. Enaknya memang pake sudut pandangnya Rana aja tapi terkadang stuck karena aku gabisa ceritain lain sisi yang tidak ada Rana di situ. Tolong maklumin ya kalau beberapa part ada perubahan POV.

tengcu and see you:-*

Baby Jo And His PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang