9. Closer

31.6K 3.3K 103
                                        

flashback.

Sekarang aku memang sedang berada di dalam ruang Pak Sakti. Karena beberapa jam yang lalu aku menemani Jo mewarnai buku bergambarnya di dalam sini bersama Pak Sakti yang sibuk dengan laptop di pangkuannya. Kami bertiga duduk bersama di sebuah sofa panjang.

"Jo, geser dikit sana! Dokumen Papa rusak nanti kamu tindihin."

Jo berdecak sebal sembari menggeser sedikit tubuhnya dan kini malah bersender di pahaku.

"Papa tuh, Ma. Nggak pernah mau kalah sama aku. Nyebelin kan?"

"Eh, kamu juga. Tiap hari ada aja ulahnya. Marahin Ma marahin," sahut Pak Sakti yang tak mau mengalah pada anaknya sendiri.

Sebenarnya, aku masih kagok ketika Pak Sakti juga ikut memanggilku 'mama'. Dan dia terlihat sangat berbeda ketika di depan Jo. Apa dia bipolar?

"Yee, Papa tukang ngadu!"

"Dih, kamu duluan ya."

"Papa ih, kok nggak mau ngalah sih sama anak kecil?"

"Kamu ih, kok nggak mau ngalah sih sama orang dewasa?" tanya balik Pak Sakti menyeringai.

Pasangan ayah-anak itu terus saja melanjutkan adu mulutnya sedangkan aku hanya menjadi penonton setia saja di sini.

Sesekali tersenyum kecil melihat Pak Sakti yang kuwalahan meladeni omongan Jo.

"Udah ah, Mama ngantuk dengerin kalian debat."

Jujur saja rasa kaantuk itu tiba tiba menyerang.

"Loh...." keduanya sama sama tercengang.

Aku terkikik saja melihat bagaimana cara mereka cengo melihatku langsung rebahan di sofa.

flashback end.

"Kamu yakin?"

"Yakin," jawabku serius.

Pak Sakti tersenyum, "Kalau gitu. Dimulai dari sekarang saya dan Jo akan terus berada di sekitar kamu. Karena kami mulai membutuhkan kamu."

Jantungku berdesir seketika melihat Pak Sakti tersenyum sambil menggenggam tanganku erat.

Aku segera melepas kaitan tangan itu dan tersenyum canggung. Pak Sakti nampaknya juga ikut tersadar. Buktinya, dia langsung berubah mode jadi datar lagi dan malah meninggalkan aku sendirian lagi.

Seperti tidak ada yang terjadi.

"Cepet banget berubah mood-nya..." gumamku menatapnya.

👼

Aku berjalan menuju ruangan Pak Sakti sambil menggandeng tangan Jo. Di sepanjang jalan ini kami menyanyikan beberapa lagu anak-anak untuk Jo. Di tangan kiriku ada rantang makanan untuk kami.

"Siang, Papa!"

Jo berteriak kegirangan karena melihat Papanya yang sudah ayem tidur di sofa bed dalam kantor kecilnya ini. Memang, kantor dalam cafe pusatnya ini didesign untuk bekerja dan tempat beristirahat bagi Pak Sakti dengan memanfaatkan ruang sempit lantai atas. Kira-kira 4x3? aku kurang tau pasti ukuran ini pokoknya lumayan sempit namun tidak pengap karena Pak Sakti mengatur ventilasinya bagus. Lagipula dia juga jarang ke sini, karena pekerjaan utamanya bukanlah ini.

"Siang, nak," jawabnya dengan serak sambil menatap Jo dengan mata mengantuknya.

"Abis darimana?" tanyanya lagi namun kali ini dengan menatapku. Aku yang masih sedikit kaku dengannya hanya bisa menjawab dengan terbata.

"Eh, itu-- dari supermarket depan. Jo minta jajan."

Pak Sakti hanya mengangguk sambil perlahan bangkit dari tidurnya. Dia terlihat sangat lelah terbukti dengan kantung matanya yang semakin bertambah saja seingatku.

"Jo tadi beli ini, Pa."

Jo menghampirinya dan langsung duduk dipangkuan Ayahnya. Dia memamerkan susu pisang yang dia beli bersamaku tadi pada papanya.

"Apa tuh?"

"Susu rasa pisang. Kata mama ini kesukaannya. Jadi Jo pengin coba juga," ucap Jo yang membuat Pak Sakti menoleh ke arahku. Aku yang masih berdiri di depan mereka sontak terkejut juga.

Aku merasakan bahwa ada sebuah tangan meraih jemariku dan menarikku untuk duduk di sampingnya.

"Santai aja," katanya dengan tetap tidak melepaskan tanganku. Aku yang sedikit risih karena debaran jantung yang mulai menggila seketika ingin melepaskan cekalan itu namun Pak Sakti semakin mengeratkannya. Tidak ada pilihan lain selain pasrah.

"Udah makan?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Kamu nanya siapa?"

"Pak Sakti, kan kalau Jo saya udah tau."

"Ohh, belum. Nunggu kamu."

Aku hanya mengangguk, "tau ya saya mau bawain makanan?"

"Enggak, ya feeling aja."

Aku menaikkan alis, "bisa gitu?"

Pak Sakti tersenyum tipis, "dibisa-bisain pokok bisa."

"Ha?"

Terkadang Pak Sakti juga bisa menjadi pria yang sudah dimengerti maunya apa.

"Udah lah, ayo makan aja. Jo kamu main puzzlemu dulu ya? Papa mau makan dulu."

"Oke, Papa. Disuapin mama ya?" tanya Jo yang membuat mataku membola.

"Hah?? enggak-enggak," aku mencoba menampik itu.

"Papa sih maunya gitu," kata Pak Sakti yang membuatku menabok lengannya.

Jo tertawa.

"Mama pipinya meraaahhh," pekiknya kencang dan langsung berlari menuju kotak mainannya.

Meninggalkan aku yang cengo.

Pak Sakti ikut tertawa.

"Masa sih merah? eh merah beneran ternyata," katanya dengan usil mendekatkan wajahnya padaku dan meneliti.

Aku mendorongnya sedikit dan beranjak menyiapkan rantang itu. Membiarkan dia terbahak-bahak sendiri. Dongkol rasanya. Sepertinya aku dikerjain mereka berdua.

"Jo, berani ketawain Mama, Mama buang puzzle mu besok!" titahku garang menatap Jo yang sudah asyik bermain puzzlenya.

Jo tau tau sudah memekik heboh, "JANGAN MAMA!"

"Hahaha, canda seyeng," ucapku lagi saat melihatnya langsung memeluk erat potongan puzzlenya.

"Beneran gamau suapin saya?" sebuah suara mengalihkan tawaku. Melotot garang pada pria itu hingga membuatnya kicep dan segera memakan makanan yang sudah kupersiapkan padanya.

"Hehehe, canda seyeng," sahutnya meniru gayaku tadi.

Hih, ngeselin banget nih duda satu!

👼

21 Mei 2021

see youuuu

Baby Jo And His PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang