Setelah hari itu, Jey seperti menjaga jarak dari Prinsha. Mereka tidak sering bersama lagi seperti sebelum-sebelumnya. Paling tidak mereka berangkat bersama dan pulang bersama karena Prinsha masih menumpang di rumah Jey.
Di sekolah pun Jey lebih banyak menghabiskan waktu bersama Grosia. Memang sih Jey masih sekelas dengannya, tetapi cowok itu tidak pernah perhatian lagi dengannya. Jey tidak lagi memberinya apel untuk sarapan, tidak lagi bertanya alasan Prinsha tidak banyak omong, dan tidak lagi memberi Prinsha contekan kalau ada soal pelajaran yang tidak Prinsha mengerti.
“Jey,” panggil Prinsha. Ia dari tadi mencari Jey dan ternyata menemukan Jey di taman bersama Grosia. Muncul perasaan kesal di hati Prinsha karena Jey dekat dengan cewek selain dirinya.
“Jey,” panggil Prinsha lagi karena Jey tidak menoleh. Hanya Grosia saja yang menatap Prinsha dengan ekspresi datar. Namun, saat panggilan ke dua, Jey menoleh dan menaikkan alisnya sebelah, tanda ia bertanya maksud kedatangan Prinsha ke taman itu.
“Gue mau ngomong.”
“Ngomong aja kali.”
“Dua kepala, Jey,” pinta Prinsha sambil melirik Grosia. Grosia yang tampak mengerti pun segera beranjak pergi dari taman itu untuk memberi ruang pada sepasang sahabat itu.
“TTP,” kata Jey singkat.
“Hah? Apaan tuh?” tanya Prinsha bingung.
Jey berdecak kesal. Ia malas berbicara panjang lebar dengan Prinsha, makanya ia membuat singkatan, tetapi Prinsha malah tidak mengerti. “To the point.”
“Lo kenapa kok kayak ngejauh dari gue? Gue ada salah lagi ya, Jey? Bilang dong kalau gue salah, biar gue bisa perbaiki diri. Jangan diemin gue kayak gini, kayak dulu,” tutur Prinsha sambil menunduk dan meremas jari-jarinya. Sesekali ia melirik Jey untuk melihat ekspresi wajah Jey, tetapi tetap saja Jey memasang wajah datar.
“Gue kira setelah itu gue bakal bisa di deket lo. Nyatanya gue gak bisa,” sahut Jey. Prinsha mengernyitkan keningnya karena tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Jey.
“Kenapa gak bisa deket gue? Gue pasti ada salah, 'kan? Bilang dong, Jey. Please, jangan diemin gue, jangan jauhin gue. Gue takut kehilangan lo,” lirih Prinsha sambil menatap Jey.
“Iya, lo ada salah. Tapi, itu bukan murni kesalahan lo. Takdir mungkin,” kata Jey yang berusaha tampak acuh. Ia menatap ke arah lain karena ia tidak kuat untuk melihat raut Prinsha yang tampak sedih. Ini bukan salah Prinsha ataupun Jey karena semuanya sudah ditentukan oleh takdir.
“Apa, Jey? Bilang! Biar gue bisa perbaikin diri gue! Kebiasaan banget lo kalau gue salah gak mau ngomong!” bentak Prinsha sambil berdiri. Prinsha dikuasai oleh rasa takut kehilangan Jey. Dari semua kata-kata yang Jey lontarkan, itu semua mengarah kalau Jey akan meninggalkan Prinsha. Tentu Prinsha takut karena ia tidak mau Jey pergi dari sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISS APPLE (END)
Teen FictionPrincess Roula Itaran Navida Sarona Hansela Agalori atau yang sering dipanggil Prinsha, disingkat menjadi Prinsha. Dia mudah tertawa, mudah tersenyum, dan juga mudah tersakiti. Hari pertama sekolah, ia memacari orang yang bisa menghafal namanya yan...