Dulu ada masanya aku pernah begitu kepikiran kenapa orangtua selalu mengutamakan bibit, bebet dan bobot jika memilih jodoh untuk anaknya. Dan kenapa agama sangat menyarankan agar kriteria utama memilih pasangan adalah yang baik agamanya. Padahal tidak ada yang tahu bagaimana hidup seseorang kedepannya.
Bagaimana kalau kita cinta sama orang yang tidak baik agamanya, atau berasal dari keluarga yang tidak jelas? Bisa saja saat ini dia terlihat buruk tapi seiring berjalannya waktu kita bisa merubahnya lebih baik, atau bisa saja dia berasal dari keluarga yang kurang baik tapi pribadi nya sendiri baik dan bisa dijadikan pasangan.
Dan butuh waktu lama aku bisa mendapat jawaban..
Karena menikah itu bukan hanya persoalan dua orang, tapi menyangkut keluarga besar. Menikah bukan untuk coba-coba merubah hidup seseorang, tapi harus bisa menerima segala kekurangannya dan segala keadaan keluarganya. Kembali bertanya pada hati masing-masing, sanggupkah kita merubahnya menjadi lebih baik? Atau jangan-jangan malah kita yang ikut arusnya?
Keluarga seharusnya menjadi tempat yang nyaman disaat kita penat dengan dunia luar, keluarga seharusnya menjadi pelindung di saat kita sedang terombang-ambing oleh masalah. Keluarga juga seharusnya menjadi pegangan kita disaat sedang rapuh.
Semakin banyak jumlah anggota keluarga pasti akan semakin banyak permasalahan yang muncul. Perbedaan pendapat atau persilisihan pasti akan ada dan mewarnai kehidupan keluarga itu. Tapi satu hal yang harus diingat, keluarga itu yang tau semua kekurangan kita tapi mereka tetap menerima kita.
Mungkin karena alasan Itu agama, bibit, bebet dan bobot sangat dipertimbangkan, agar kita juga mendapat keluarga yang nyaman, keluarga yang membawa kita menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
"Kenapa bengong di sini?"
Aku menoleh dan mendapati ayah mertua yang tersenyum dan sudah duduk di sampingku. Tak lupa beliau membawa mug loreng kesayangannya.
"Ngadem aja Yah! Enak di sini suasananya, masih asri!"
Ayah menyetujui ucapanku, beliau juga merasa sangat nyaman tinggal di sini, dengan alasan itu juga beliau menolak waktu aku mencoba mengajak tinggal di Semarang.
"Alhamdulillah sekarang tambah nyaman dan bahagia lagi, Al! Terimakasih ya!" ujar ayah sambil tersenyum bahagia, matanya mengarah ke depan dimana sumber kebahagiaan beliau berada.
Di halaman rumah ayah yang masih cukup luas dan asri, Kinan sedang bercanda bersama beberapa tetangga yang juga membawa anak mereka bermain. Ada yang sambil menyuapi, ada juga yang sambil bermain. Raffan sendiri baru bisa bergerak lincah di gendongan Bu Lik Hasna melihat anak-anak berlarian di depannya.
Dan hal itulah yang menjadi alasan ayah bertambah bahagia seperti ucapan beliau tadi. Akupun turut bahagia, karena sudah pasti Kinan juga bahagia. Hubungan keluarga ayah dan keluarga bu lik hasna sudah tidak se tegang dulu, kini perlahan kehangatan diantara mereka kembali.
Kata Kinan, keluarga Dini sudah tidak pernah menekan ayah lagi. Hubungannya dengan Dini juga sudah tidak setegang dulu, walaupun sifat dingin Dini tidak berubah tapi setidaknya keduanya kini sudah layaknya adik kakak. Aku masih ingat sekali bagaimana wajah bahagia Kinan waktu menceritakan perubahan sikap keluarga Dini itu.
"Itu semua karenakesabaran Ayah, ibu dan Kinan selama ini!"
Ayah meletakkan mugnya lalu menepuk pundakku, "Ayah sangat bersyukur karena Kinan juga mendapatkan kamu sebagai buah kesabarannya selama ini. Terimakasih kamu sudah mau menerima anak Ayah yang banyak kekurangannya itu. Tapi Al,"
Ayah mengalihkan pandangannya ke arah anak perempuan dan istrinya berada, "walaupun dia banyak kurangnya tapi dia hidup Ayah, tolong jaga dia, ayah percayakan dia sama kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Pesan Rindu dari Ma'had
RandomApa yang pertama kali terpikir ketika mendengar kata pesantren? Ngaji terus? Nggak bebas? Nggak gaul? Ketinggalan jaman? Jelas!! Salah besar. Dalam cerita ini kamu akan menemukan banyak cerita rahasia di dalam pesantren, juga banyak cerita tentang k...