"Eh, Lix? Kamu kenal Jisung?"
Felix menoleh ke arah Changbin yang kini sedang menatapnya penasaran.
Felix mengangguk pelan. "Kenal. Dia itu teman pertamaku."
Changbin membulatkan matanya, namun tak lama kemudian, dia mengangguk pelan. "Tak kusangka, anak seperti dia punya teman."
"Memangnya dia kenapa?"
Changbin kembali menoleh ke arah Felix. "Kamu tidak tahu?"
Felix menggeleng pelan. Dia benar benar tidak tahu.
"Dasar, anak goa."
Changbin menghela napas sejenak, bersiap untuk menceritakan gosip terkini yang sedang marak di sekolah itu.
"Dia itu anaknya dingin, judes pula. Dikenal tidak punya teman. Ya, mungkin karena efek dinginnya yang keterlaluan." Changbin mulai menceritakan segalanya secara rinci.
"Anaknya jarang tersenyum, padahal kalau senyum, dia manis banget," tambahnya.
Felix hanya mangut mangut, masih tetap fokus mendengarkan cerita Changbin.
"Sebenarnya, banyak yang mau jadi temannya, walaupun ada maunya sih tuh orang orang. Mereka mau jadi temannya Jisung, karena Jisung itu termasuk anak pejabat yang cukup kaya. Selain itu, Jisung juga pintar, peraih peringkat 3 di kelas. Apalagi ditambah dengan kemampuannya main basket. Waaahh... Makin komplit saja."
"Tapi, Jisung bilang dia tidak ingin menjadi atlet basket. Dia bilang, dia orangnya mageran, jarang mau bergerak, apalagi berolahraga," potong Felix.
Changbin mengedikkan kedua bahunya, tanda tak tahu. "Kalau itu, aku tidak tahu. Tapi, yang jelas, dia itu anak most wanted di sekolah ini."
Hening...
Tak ada yang bersuara lagi. Changbin fokus memandangi anak anak ekskul drama yang sedang menyusun skenario drama di pinggir lapangan. Sedangkan Felix, dia fokus memandangi anak anak basket yang sedang bertengkar, entah karena apa. Tapi, sebenarnya, Felix bukan memandangi anak anak basket, melainkan memandangi Jisung yang hanya diam, tak berniat untuk melerai teman temannya yang bertengkar.
Felix terlihat kebingungan ketika melihat Jisung malah berlari ke arahnya, meninggalkan teman temannya yang sedang baku hantam.
"Yo, Lix. Ternyata kamu sekolah disini juga," sapa Jisung sambil duduk di pinggir bangku panjang yang sedang diduduki oleh Felix dan Changbin.
"Kamu tidak melerai teman temanmu itu?" tanya Felix, tak menghiraukan sapaan Jisung tadi.
Jisung menghembuskan napas kasar. "Mau dilerai atau tidak dilerai, mereka tetap sama saja. Bertengkar bertengkar juga."
"Oh..." Felix bingung ingin menjawab apa, jadi dia hanya ber-oh panjang.
"Tumben keluar kelas, biasanya jarang."
Felix tersenyum kecut. "Tuh gara gara Kak Changbin. Dia ngajak aku kesini, gak tahu mau ngapain."
"Oh..."
Jisung dan Felix pun tak bersuara lagi. Masing masing berusaha untuk menentukan topik pembicaraan yang bagus. Changbin pun sama.
Situasi canggung mulai terasa. Ketiganya tak ada yang berani untuk melontarkan satu kata untuk memecah keheningan yang melanda.
"Jisung, kamu itu kapten basket?" tanya Felix memecahkan keheningan.
Jisung menoleh ke arah Felix, dan mengangguk pelan. "Sungguh menyedihkan, tapi kenyatannya aku memang kapten basket,"
"Kapten basket yang terpaksa jadi kapten, karena tak ada yang mau jadi kapten."
Jisung memalingkan wajahnya saat Felix menoleh dan memandanginya. "Aku iri padamu."
Jisung terkekeh kecil. "Kita saling iri dengan satu sama lain. Bisakah kita bertukar tubuh untuk sehari saja? Pasti menyenangkan."
"Perlu kalian tahu, Tuhan memang sudah mentakdirkan kalian seperti ini. Bersyukurlah, hidup kalian itu masih lebih baik daripada hidup orang lain diluar sana."
Jisung dan Felix serempak menoleh ke arah Changbin yang tiba tiba saja bersuara setelah beberapa menit membungkam.
Changbin pun membalas tatapan Jisung. "Jisung, kamu dianugerahkan bakat bermain basket. Kamu harusnya bersyukur. Tidak semua orang pun bakat seperti itu.
Kini, Changbin mengalihkan atensinya ke Felix, dan menatap remaja itu sejenak. "Dan Felix, kamu dianugerahkan kakak yang perhatian, yang lebih baik daripada seluruh kakak yang ada di dunia ini. Kamu juga harus bersyukur."
Felix dan Jisung saling melempar pandangan bingung, dan kemudian mengangguk bersamaan.
"Tapi..... Aku tidak ingin bermain basket. Aku ingin menggambar saja," ucap Jisung, membuat Felix dan Changbin menoleh.
"Bermain basket bukan keinginanku, itu keinginan ayah dan ibuku."
"Aku malah berkebalikan denganmu, aku ingin bisa bermain basket, tapi aku malah dianugerahkan bakat menggambar," sahut Felix.
Changbin tersenyum tipis sambil memandangi keduanya. "Jalani saja apa yang kalian inginkan. Tapi, jika kalian tidak bisa, jangan dipaksakan."
Remaja bermarga Seo itu pun pergi meninggalkan kedua adik kelasnya yang masih duduk dengan tatapan bingung.
"Sejak kapan kak Changbin jadi bijak seperti ini?" tanya Jisung tak percaya.
Felix langsung menoleh ke arah Jisung. "Memangnya dia dulunya tidak bijak?"
Jisung tersenyum tipis. "Tidak. Dia dulunya sama sekali tidak bijak."
"Apakah kak Changbin teersambar petir?"
"Sepertinya begitu."
Dan akhirnya mereka berdua berbincang banyak hal, dan berakhir tertawa bersama. Dan tentu saja hal itu membuat yang lainnya bingung.
Terlihat ada beberapa murid yang berbisik bisik sambil memandangi keduanya dengan sinis. Namun, hal itu tak digubris oleh keduanya. Toh, mereka berdua sudah terbiasa dengan hal itu.
Satu teori yang berlaku di sekolah ini:
Hari tidak ada haters = Hari aneh
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream [Jilix ft. Minbin] ✔
Fanfiction"Kak, aku boleh gak main basket?" "Lix, udah berapa kali kakak bilang, jangan bertanya tentang hal itu. Kakak gak mau kamu kenapa napa." Hanya secuil kisah Lee Felix yang ingin bermain basket, tetapi selalu dilarang sama kakaknya, Lee Minho. Di sa...