Pemakaman umum, itulah tempat yang dikunjungi oleh Felix, Minho, dan Changbin sekarang ini.
Felix tampak memeluk erat batu nisan bertuliskan nama Jisung. Dia masih tak percaya jika Jisung benar benar telah meninggalkannya.
Minho dan Changbin hanya memandangi Felix dengan raut wajah sendu. Sama seperti Felix, mereka juga masih tak percaya jika Jisung telah meninggalkan mereka. Tadinya, mereka mengira ini hanyalah prank belaka, ternyata bukan.
"Hei, saudara kembarku. Bagaimana kabarmu di sana? Kamu baik baik saja, kan?" tanya Felix sambil membersihkan dedaunan kering yang berada di atas gundukkan tanah itu.
"Terima kasih telah mendonorkan jantungmu kepadaku. Maaf, aku belum bisa membalas jasamu," tambah Felix sambil mengusap lembut batu nisan tersebut.
"Aku tak menyangka, kamu akan pergi secepat ini. Kita padahal baru saling mengenal beberapa bulan yang lalu, kan? Bahkan, belum memasuki satu tahun."
Minho mengalihkan pandangannya ke gundukkan lain. Ia tak sanggup melihat pemandangan ini. Terlalu menyedihkan.
Changbin terlihat berusaha tegar, walaupun berkali kali ia mengusap matanya yang berair.
"Tenang di sana ya, Ji. Ada saatnya kita akan bertemu lagi."
Felix pun beranjak pergi dari gundukkan itu, dan menghampiri kakaknya dan Changbin. "Kalian tidak ingin bercakap cakap dengan Jisung? Dia pasti sedih."
Minho tersenyum kecil, dan mengangguk, kemudian duduk bersimpuh di samping makam tersebut.
"Hei, Ji, kamu masih ingat kakak, kan?" sapa Minho. "Terima kasih telah menolong adikku. Kakak tidak tahu mau membalas jasamu dengan apa. Tapi kakak janji, kakak akan datang menjengukmu sesering mungkin."
"Tenang di sana, my little squirrel."
Minho pun berdiri, dan memberi isyarat kepada Changbin untuk mendekati makam Jisung.
Changbin pun menurut, dan bertukar posisi dengan Minho.
"Ji, ini aku, Changbin. Masih ingat, kan? Kalau tidak ingat, wah... Kamu keterlaluan." sapa Changbin.
Hening... Changbin tak mengeluarkan suara sedikit pun, dia membiarkan suara deru angin mengisi keheningan itu.
"Hei, squirrel... Kamu sungguh keterlaluan. Kamu bahkan tidak mengucapkan kalimat perpisahan terlebih dahulu kepada kami," ucap Changbin sedikit melucu. "But it's okay. Semua sudah terlanjur."
"Tenang di sana, Ji. We'll always love you, squirrel.."
Changbin pun beranjak menjauh dari kuburan Jisung.
"Mau pulang sekarang?" tanya Changbin kepada Minho dan Felix yang masih senantiasa memandangi kuburan Jisung.
"Ya sudah, ayo pulang. Felix juga butuh istirahat," ajak Minho sambil menggandeng Felix.
Minho menatap Changbin yang enggan untuk bergandengan tangan bersamanya. "Ya! Kenapa kamu tidak ingin bergandengan tangan denganku?"
Changbin mendengus pelan. "Memangnya aku anak kecil yang harus digandeng kemana mana agar tidak hilang di tengah khalayak ramai?"
"Ya, masalahnya.. Kamu itu pendek, Bin. Bisa bisa kamu terselip di tengah tengah rombongan ibu ibu pejuang diskonan!" ledek Minho, membuat Changbin hampir mengumpat.
"Shht... Jangan mengumpat di sini. Ada Felix," peringat Minho.
"Memangnya, kalau ada aku, kenapa, Kak? Tidak boleh, ya?" tanya Felix.
"Nanti kamu ikut ikutan, Lix. Anak kecil sepertimu, kan tidak cocok untuk mengumpat," jawab Minho, membuat Felix mendelik.
"Sejak kapan aku masih disebut anak kecil? Aku sudah SMA, Kak! Ingat itu!" bantah Felix.
"Ya, mau bagaimana pun, kamu itu masih kakak anggap sebagai anak kecil, Lixie sayang."
"Terserah kakak aja deh. Lixie malas berdebat."
Changbin tiba tiba saja berhenti di tengah jalan, membuat Minho dan Felix ikut ikutan berhenti.
"Ada apa, Bin?" tanya Minho bingung.
"Kita makan di cafe dulu yuk. Sekalian selebrasi karena SMA SOPA menang turnamen basket kemarin," ajak Changbin sambil menunjuk cafe berukuran sedang di ujung jalan.
Iya, turnamen kemarin dimenangkan oleh SMA SOPA. Berkat perjuangan dari Jisung dan Felix juga.
Minho menatap Felix sejenak, meminta pendapat dari sang adik.
"Ayo ayo aja. Kebetulan Lixie lapar!" seru Felix berlari menuju ujung jalan, tempat cafe itu berada.
Minho dan Changbin hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya. Tak percaya dengan kelakuan Felix yang sungguh kekanak-kanakan.
"Ayo, Bin. Aku juga sudah sangat lapar!" ajak Minho sambil setengah merengek.
"Ck. Tidak kakak, tidak adik, keduanya sama sama kekanak-kanakan," gerutu Changbin.
"Ya!! Aku tidak kekanak-kanakan! Aku hanya lapar!" bantah Minho.
"Shht.... Diamlah. Lebih baik bergegas, sebelum adikmu memesan segala macam makanan yang ada di sana," sergah Changbin sambil menarik tangan Minho.
"Kalau dia benar benar memesan segala macam menu yang ada di sana, bagaimana?"
"Melayang sudah uang tabunganku!"
(A/N):
Ini aku rada ngebut up-nya, ya... Gak apa aa, kan? Gak ada yang keberatan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream [Jilix ft. Minbin] ✔
Fanfiction"Kak, aku boleh gak main basket?" "Lix, udah berapa kali kakak bilang, jangan bertanya tentang hal itu. Kakak gak mau kamu kenapa napa." Hanya secuil kisah Lee Felix yang ingin bermain basket, tetapi selalu dilarang sama kakaknya, Lee Minho. Di sa...