(A/N): Karena banyak yang minta happy ending, jadi work ini bakalan nambah chapternya. Mungkin sampai 30-an chapter.
Sudah terhitung dua hari sejak kematian Jisung, Felix sampai sekarang belum sadar juga. Mungkin akibat obat bius yang digunakan saat operasi.
Sudah terhitung dua hari juga, Minho murung. Bukannya ia tidak suka adiknya itu kembali sehat seperti sediakala, namun... Dia merasa sedih karena harus kehilangan Jisung. Walaupun Jisung bukanlah adik kandungnya, namun Minho sangat menyayangi Jisung layaknya adik kandungnya sendiri.
Minho sebenarnya bukan hanya sedih, namun juga bingung. Bagaimana jika Felix bertanya tentang Jisung? Minho harus menjawab apa? Apakah ia harus jujur, tapi membuat sang adik kecewa? Atau berusaha menutupi semua itu dengan kebohongan?
"Hei, masih memikirkan itu?" tanya Changbin yang baru datang dari toko buah.
Minho menoleh ke arah Changbin, dan mengangguk. "Iya. Aku bingung."
Changbin menghela napas pelan, dan mendudukkan diri di samping Minho. "Aku pun sama, Ho. Kita tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya kepada Felix. Dia pasti akan kecewa kepada dirinya. Tapi... Kita juga tidak mungkin menutupi itu dengan kebohongan, karena dia nantinya akan tahu yang sebenarnya."
"Nah, itu yang aku pikirkan," sahut Minho.
Changbin menatap Minho sejenak. "Tapi... Jujur itu lebih baik, Ho. Lebih baik dia tahu dari awal, daripada tahu di akhir dan kemudian kecewa berat."
Minho menghela napas pasrah, dan mengangguk. "Aku juga berpikir seperti itu, Bin. Tapi aku takut Felix kecewa...."
"Tenang. Aku akan membantumu," balas Changbin sambil menepuk pundak Minho beberapa kali.
"Thanks."
~Dream~
"Eunghh..."
Minho dan Changbin yang sedang bermain ludo, langsung menoleh ke arah Felix yang terlihat kesulitan untuk membuka matanya.
"Felix! Felix! Kamu sudah sadar?" tanya Minho sambil berlari lari kecil ke arah brankar Felix.
Felix mengerjapkan matanya sejenak, dan menoleh ke arah Changbin dan Minho yang kini berada di sampingnya.
"Kakak....," panggilnya lirih.
"Ada yang sakit?" tanya Minho, dan langsung dihadiahi gelengan pelan dari Felix.
Felix mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, membuat Changbin dan Minho menelan salivanya, takut kalau Felix menyadari bahwa Jisung tidak ada di ruangan itu.
"Dimana Jisung? Apakah dia baik baik saja?" tanya Felix, membuat bahu kedua remaja yang lebih tua darinya, merosot dengan lesu.
Minho tak langsung menjawab pertanyaan itu. Begitu pula dengan Changbin. Mereka berdua belum siap untuk memberitahu kebenarannya kepada Felix.
"Kak, kenapa kakak tidak menjawab? Firasat Felix tidak enak, kak!" tanya Felix dengan raut wajah cemas.
Minho dan Changbin langsung memasang senyum getir, membuat Felix semakin curiga.
"Huh... Baiklah... Tapi sebelumnya, kamu harus berjanji dulu kepada kakak," jawab Minho, membuat Felix mengernyitkan keningnya samar.
"Janji apa?"
"Kamu tidak boleh kecewa berlebihan."
"Baiklah kalau hanya itu. I'm fine with it."
Minho menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang akan tumpah sebentar lagi.
"Jisung.... Dia sudah tidak kesakitan lagi sekarang. Dia sudah baik baik saja. Namun... Dia sudah tak lagi tinggal di alam yang sama bersama kita," jawab Minho setengah nge-rap, namun masih dapat Felix dengar dengan jelas.
Kedua bahu Felix langsung merosot lesu. Matanya terlihat berkaca kaca, menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
"Jangan menangis. Jantungnya Jisung masih tetap berdetak, dik.... Jantungnya tetap berdetak... Walaupun di raga yang berbeda."
Felix mengangkat kepalanya, dan menatap Minho tak percaya. "Jangan bilang kalau..."
"Iya, jantungnya ada di sini, Lix," ucap Minho sambil menunjuk ke arah dada kiri Felix.
Tangis Felix langsung pecah seketika.
"Jangan menangis, Lix.... Jisung memberikan jantung itu kepadamu, agar kamu bisa melihat dunia ini sekali lagi. Jisung pasti sudah memikirkan semuanya matang matang, termasuk keputusannya untuk memberikan jantungnya kepadamu," ucap Minho sambil memeluk Felix.
Felix menatap Minho dengan mata sembabnya. "Berarti aku, kan yang membunuh Jisung?"
Minho dan Changbin berlomba lomba menggeleng ribut.
"Tidak, Lix, tidak. Kamu tidak membunuh Jisung. Memang sudah menjadi takdir Jisung untuk meninggal pada hari itu," bantah Changbin sambil ikutan memeluk Felix.
"Tapi kalau aku tidak memerlukan donor jantung, tentu dia masih akan hidup, kan?" tanya Felix lagi, membuat keduanya terdiam sejenak.
"Belum tentu juga, Lix," jawab Changbin.
"Belum tentu bagaimana?" tanya Felix bingung.
"Kamu, kan ingat, Jisung membutuhkan donor paru paru secepatnya. Mungkin kalau dia tidak mendonorkan jantungnya ke kamu, dan dia juga tidak mendapatkan donor paru paru secepatnya, kamu dan dia akan mati bersamaan, Lix," jelas Changbin, membuat Felix diam seribu bahasa.
"Kenapa kakak tidak melarangnya saja? Kakak, kan pasti tahu kalau dia akan mendonorkan jantungnya ke aku," tanya Felix setelah sekian menit membungkam.
Minho menggeleng pelan. "Kakak bahkan tidak tahu kalau dialah pendonornya. Kakak baru tahu setelah operasi telah usai."
Felix menghapus air matanya dengan kasar, dan menatap kakaknya lekat lekat. "Kak, bolehkah aku menjenguk makam Jisung?"
Minho mengangguk. "Boleh, tapi kalau keadaanmu sudah stabil. Sekarang ini, kami masih harus banyak istirahat, dan belum boleh melakukan aktivitas yang berat berat."
Felix tersenyum tipis, dan mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream [Jilix ft. Minbin] ✔
Fanfiction"Kak, aku boleh gak main basket?" "Lix, udah berapa kali kakak bilang, jangan bertanya tentang hal itu. Kakak gak mau kamu kenapa napa." Hanya secuil kisah Lee Felix yang ingin bermain basket, tetapi selalu dilarang sama kakaknya, Lee Minho. Di sa...