Aku penasaran.
Aku penasaran bagaimana reaksi Chanyeol setelah menyantap camilan sore hari yang kubuatkan untuknya. Ah, entah kenapa aku jadi seperti ini. Rasa penasaran itu cukup membuatku beberapa kali mondar-mandir di dekat pintu, ragu-ragu untuk membukanya atau tidak. Sudah sekitar dua jam aku seperti ini, dan sepertinya ini adalah waktu yang tepat.
Kubuka pintu kamarku sembari membawa piring beserta gelas bekas camilan tadi. Ruang tengah kembali terasa sepi. Paman itu pasti sudah kembali lagi ke kamarnya. Cepat-cepat aku melangkah ke dapur dan tersenyum senang ketika kulihat piring dan cangkir di atas meja pantry telah bersih, tak bersisa.
Paman itu menyantap habis pancake dan teh hangat yang kubuat!
Aku tahu ini aneh, tapi rasanya aku senang sekali. Ternyata Paman Chanyeol tidak seburuk yang kukira. Aku kembali tersenyum ketika membayangkan bagaimana, ya, jika wajah dingin itu menyantap makananku. Ah, sayang aku tak bisa lihat reaksinya. Tapi, ya sudahlah. Begini saja aku sudah senang.
Kenapa pria itu harus bersikap dingin jika kami mungkin bisa berteman?
Meskipun kami tak saling suka dengan pernikahan ini, aku dan dia 'kan bisa jadi teman. Paling tidak aku akan bersikap layaknya seorang adik perempuan untuknya. Bukankah begitu lebih baik?
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hujan rupanya cukup awet, karena masih terdengar rintik dari luar sana. Perutku kembali berbunyi lagi. Mungkin ini saatnya masak makan malam. Setelah mencuci piring dan gelas, aku berjalan ke arah kulkas untuk memeriksa bahan makanan.
Masak apa, ya?
Ah ...!
Apakah Paman juga mau makan?
Aku segera berjalan ke arah pintu kamarnya, tapi aku berhenti sejenak karena aku merasa ragu. Nanti dia malah tidak mau dan menolakku sambil menunjukkan wajah dinginnya yang menyebalkan itu lagi!
"Ah, tidak usah. Dia kalau lapar 'kan bisa beli makan kalau malas masak," gumamku sambil berbalik badan menuju dapur. Tapi langkahku terhenti lagi ketika aku ingat pesan ibu dan ayahku untuk jadi istri yang baik bagi Chanyeol.
Aish ...
Aku memutar tubuhku lagi kali ini, dan dengan langkah mantap berjalan ke arah pintu kamarnya yang besar.
"P-Paman?" panggilku sembari mengetuk pintu pelan.
Tak ada jawaban.
"Paman Chanyeol!" seruku lagi sambil menguatkan ketukan.
Ah, dia mengabaikanku.
Tapi baru saja aku berpikir demikian, terdengar samar-samar suara langkah kaki berjalan ke arah pintu. Dan aku terkesima saat melihat Chanyeol membuka pintu kamar dengan wajah datar. Matanya terlihat sayu dan mengantuk.
"Kenapa?" tanyanya dingin, yang sempat membuatku gugup sejenak.
"P-Paman mau makan sesuatu?" tanyaku. Aku menunjuk arah dapur, "aku mau masak makan malam."
"Tidak." Chanyeol menjawab dengan cepat lalu menutup pintu tepat di depan wajahku.
Astaga, dasar paman tua menyebalkan! Padahal aku sudah berusaha tersenyum padanya, tapi sikapnya begitu! Menyesal aku bersikap ramah padanya. Jika bukan karena janjiku pada kedua orang tuaku dan Ayah Park, aku tidak mau mengetuk pintu kamarnya lagi.
Anehnya, Paman Chanyeol kembali membuka pintu kamarnya.
"Kau harus makan, Paman!" ujarku.
"Bukankah sudah kubilang aku tidak mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Moment ✓
RomanceKupikir takdir mempermainkanku ketika aku harus bertemu dengan pria dingin yang menyeramkan itu, seolah tali takdir itu enggan terputus meskipun aku sudah berusaha mengakhirinya. Di balik itu semua, tersimpan sebuah rahasia yang membentuk sosoknya...