"Kau yakin mau ambil jurusan desain di National University of Singapore?" tanya Pak Han Hyoseop, wali kelas sekaligus guru bimbingan konseling. Ia menatap formulir pengajuan universitas di tangannya, lalu menatapku dengan sedikit ragu. "Kenapa tidak di Korea saja? Jurusan desain di Korea juga bagus. Selain itu kau tidak perlu menunggu beberapa bulan untuk pelatihan bahasa Inggris lagi."
"Aku hanya penasaran jika kuliah di luar negeri, Pak. Lagipula, aku ingin merasakan pengalaman baru," jawabku.
Pak Han diam sebentar, lalu mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Sekarang kau boleh keluar."
"Terima kasih, Pak," jawabku kemudian membungkuk sopan sebelum keluar dari ruang guru. Kulangkahkan kaki dengan gontai saat menuju kelas. Rasa kantuk dan lelah akan pikiranku membuatku memilih untuk menenggelamkan wajahku di atas lipatan tangan pada meja belajarku. Seperti biasa, Jungkook akan memutar tubuhnya ke belakang untuk berhadapan denganku saat aku seperti ini.
"Kau baik?" tanyanya dengan mata yang terfokus pada game mobile di gawainya.
"Tidak terlalu. Aku lelah."
"Kau sudah mengumpulkan formulir pendaftaran universitas?" tanyanya lagi yang kujawab dengan gumam. "Jadi kau mau ke universitas mana?"
"National University of Singapore."
"Hah?!" seru Jungkook tiba-tiba yang membuatku terkejut. Sontak kuangkat kepala dan kutatap wajah Jungkook yang terlihat serius itu. "Kau serius mau ke Singapura?!"
"Memangnya kenapa? Lagipula harusnya kau teriak sekencang itu?!" seruku sambil menggosok daun telingaku.
"Kau yakin bisa bahasa Inggris?" tanyanya lagi.
"Aku akan ambil les bahasa inggris saat lulus sekolah nanti selama lima bulan," jawabku.
Jungkook diam sejenak, kemudian ia kembali bicara sambil berbisik. "Apakah Chanyeol tahu kau mau ke Singapura?"
Baiklah, pertanyaan itu berhasil membuat otakku ikut berpikir. "Kenapa kau tanya begitu?"
"Kalian kan akan menikah selama setahun," lanjutnya lagi dengan suara paling kecil. "Lalu setelah itu kalian akan bercerai agar kau bisa melanjutkan kuliahmu. Apakah Chanyeol tahu akan hal itu?"
Aku hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. "Kurasa dia tidak tahu. Lagipula, tugasku hanya membantunya untuk sembuh dari gangguan mentalnya, bukan menjadi istrinya. Dia juga tidak mau terlibat dalam pernikahan. Jadi untuk apa dia juga tahu?"
Pria Jeon itu mengangguk pelan, meski aku tahu sepertinya ada keraguan yang melintas di kepalanya. Kami kemudian sama-sama terdiam dalam isi pikiran masing-masing, sebelum bel masuk berbunyi mengembalikan kami pada realita.
***
Sebuah panggilan di gawaiku membuatku menghentikan langkah ketika aku berjalan pulang sekolah. Kutatap sebuah nomor tak dikenal ada di sana. Awalnya aku ragu hingga membiarkan panggilan itu berakhir dengan sendirinya, sampai sebuah pesan masuk ke gawaiku.
[Ini Seokjin. Tolong angkat teleponnya. Ada yang ingin kubicarakan]
Tidak lama kemudian, panggilan kembali masuk. Aku segera menekan tanda hijau di layar gawaiku.
"Halo, Sohyun!" sapanya dengan segera, "maaf aku mengganggumu!"
"Halo," balasku, "ya, tidak masalah. Ada apa Paman menghubungiku?"
Dia tertawa kecil. "Aku bisa minta tolong padamu untuk temui aku di Gedung BigS?"
BigS?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Moment ✓
RomanceKupikir takdir mempermainkanku ketika aku harus bertemu dengan pria dingin yang menyeramkan itu, seolah tali takdir itu enggan terputus meskipun aku sudah berusaha mengakhirinya. Di balik itu semua, tersimpan sebuah rahasia yang membentuk sosoknya...
