Chapter 3
Perempuan 20 tahun dengan tampilan casualnya sedikit menunduk mengecek sport watch putihnya. Hampir tiga puluh menit dia berada di ruang konseling ini berhadapan dengan laki-laki berambut profesor ditambah kacamata melorotnya, khas seorang konselor.
"Tidak hanya dua-tiga kali kesalahan sama dilakukan. Juga macam-macam masalah yang sulit untuk ditolerir dosen lain yang mengampunya." Jelas konselor itu, membuat perempuan bernama Izora Aldaristela hampir pasrah kehabisan keyakinan untuk membela adik sepupunya.
Zora hanya mengangguk, berusaha terlihat tetap tenang dengan jemarinya yang bertautan. Namun di dalam sana, dia masih tidak habis pikir dengan kelakuan adik sepupunya, sampai-sampai hari ini dirinya lah yang harus berhadapan dengan konselor adiknya. Perlahan, Zora mengembuskan napasnya dengan sekejap matanya yang terpejam, karena menahan kesal kenapa dirinyalah yang harus menyelesaikan hal ini.
"Sebelumnya maaf, pak. Saya sangat memohon pada bapak untuk memberikan kesempatan pada adik saya, setidaknya sampai akhir semester satu ini."
"Dan saya yang akan bertanggung jawab jika kesempatan itu diabaikan oleh adik saya," tambah Zora dengan sopan memberanikan diri.
Sejenak konselor itu memperhatikan Zora lalu mengangguk-angguk. "Baiklah saya akan memberikan kesempatan pada adikmu dan beritahu padanya untuk bersikap seperti mahasiswa lain dengan menaati peraturan di kelas maupun kampus."
Zora tersenyum mengatupkan kedua tangannya. "Terima kasih banyak, pak. Akan saya sampaikan hal ini pada adik saya."
"Jika kelakuan buruknya terulang lagi, perwakilan kamu tidak akan diterima melainkan harus datangnya kedua orang tua Axel. Atau fatalnya, kampus akan memberikan drop out." Raut Zora berubah.
"Baik pak. Saya akan usahakan kelakuan buruknya tidak akan terulang lagi."
"Ya." Balas dosen itu singkat sembari mengangguk. Merasa tidak ada hal yang akan disampaikan padanya lagi, dan mengingat ada hal yang harus Zora lakukan setelah ini, membuatnya bersuara untuk mengakhiri.
"Sekali lagi mewakili kesalahan adik saya, saya mohon maaf sekaligus berterima kasih atas kesempatan untuk adik saya dan waktu yang bapak luangkan untuk menyampaikan banyak hal perihal adik saya."
"Ya, saya pribadi bisa memakluminya."
"Saya undur diri ya pak, permisi." Pamit Zora dengan senyum dan sopannya sebelum akhirnya meninggalkan ruang konseling bersama pikiran baru dalam isi kepalanya.
'Engga-engga, cukup aku aja yang tau tabiatnya di kampus dan luar rumah. Om dan tante jangan.' Gumam Zora sambil memikirkan cara bagaimana membuat adik sepupunya berkelakuan baik seperti remaja 19 tahun pada umumnya.
Terlalu larutnya dalam berpikir membuat Zora terhenti dari langkah gontainya karena interupsi seseorang.
"Lo yang dari BK, berhenti." Zora menoleh ke pintu BK barangkali ada yang keluar dari sana selain dirinya, namun tidak ada siapa-siapa. Lantas Zora menunjuk dirinya sendiri memastikan pada seorang laki-laki pemilik interupsi tadi yang kini malah berjalan mengarahnya.
Zora menaikkan sebelah alisnya seolah isyarat 'ada apa laki-laki ini memanggilnya seperti tadi dan kini bungkam di hadapannya dengan tatapan yang datar.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany of Love
ChickLitBerawal dari tindakan tak terduga dengan menerima tantangan tanpa berpikir panjang dari lawan mainnya. Dialah Zavier Rifaldo Gustian, manusia dengan pamornya yang tinggi, berspekulasi ingin menyangkal pemikiran orang-orang terhadap dirinya. Zavier m...