Chapter 4
Tepat saat Zora memasuki garasi untuk mengambil sepeda motornya, tiba-tiba ia dibekap dan ditarik mundur ke dekat gudang.
“Mphhh, aww..” saat bekapan dilepas dan punggungnya menghantam dinding, barulah Zora tau siapa pelakunya, adik sepupunya sendiri—Axeliam Mahesa.
“Heh lo kemarin ngomong apa sama dosen gue?!” Tanya Axel kemudian dengan kasar tanpa mempedulikan Zora yang ia banting ke dinding.
Zora mengernyitkan dahi atas tindakan Axel.
“Kak Zora kemarin cuma minta kesempatan buat kamu biar bisa berubah lebih baik lagi.”“Ngapain sih lo pake minta kesempatan segala. Yang gue mau tu keluar dari kampus, makanya gue nggak mikir panjang buat ngelakuin kayak gitu.”
“Kamu itu apa-apaansih, Om dan tante udah nguliahin kamu sampe gila waktu. Harusnya kamu itu serius biar bisa banggain merek—”
“Bac*t!” sentak Axel membuat Zora mengejapkan matanya dalam, terkejut.
“Kak Zora nggak bakal diem setelah ini kalo tau kamu mau berulah, karena dalam jangka waktu ke depannya bakal ngerugiin diri kamu sendiri. ” Ada jeda yang Zora ambil untuk menyampaikan prihatinnya, “Setidaknya sampe akhir semester kamu berperilaku seperti mahasiswa baru pada umumnya.” Ujar Zora bertirai harap.
“Apa peduli lo? Mama sama papa aja ngga peduli sama gue.”
Zora menggeleng untuk menyingkirkan spekulasi buruk Axel tentang orangtua nya.
“Kamu salah, mereka justru peduli dengan berusaha ngelengkapin fasilitas kamu.”“Susah ya ngomong sama orang yang nggak paham, ngabisin waktu!”
AXELLL, panggilan nyaring terdengar dari teras runah, yang tak lain milik Tisa, mama Axel.
“Gue peringatin sama lo. Jangan ikut campur urusan gue, gue berhak ngelakuin apapun yang kiranya nggak ngerugiin lo. Tapi kalo lo sampe ikut campur, gue nggak akan segan-segan tarik ucapan gue sebelumnya, buat ngga ngerugiin lo!” Tuding Axel pada Zora tegas sebelum akhirnya berlalu menghampiri panggilan mamanya.
“Mama kira kamu sudah berangkat, ternyata motor kamu masih di halaman. Makanya mama panggil kamu.” Jelas Tisa pada putra kesayangannya yang keluar dari garasi menenteng helm dan menghampirinya, jangan lupa dengan ekspresi kusut andalannya.
Disisi lain, Zora memperhatikan interaksi ibu dan anak itu. Sangat ingin Zora rasakan namun tidak seperti yang Zora harapkan, karena pemandangan itu hanya sementara setelahnya hanya ada ….
“Ya udah gih, kamu berangkat, mama juga mau pergi.” Sudah Axel tebak, tanpa Tisa memberitahu karena penampilan mamanya yang rapi.
“Yang serius ya, biar bisa nerusin arsitek papa.” Tambah Tisa, dengan senyum harapan ibu pada anaknya.
“Hm, Axel berangkat.” Ucap Axel kemudian melajukan ninjanya melewati pekarangan bersamaan dengan lambaian tangan mamanya.
“Tante mau pergi?” tanya Zora sebagai bentuk sapa.
“Iya.”
“Owh kalo gitu Zora pamit dulu ya tan.” pamit Zora yang tidak mendapat balasan tangan untuk salim.
“Sana berangkat. Kerja yang rajin.” Zora mengangguk kecewa, lantas menampilkan senyumnya—seolah kepuraan itu adalah hal biasa. Lantas Tisa melajukan roda empatnya melewati Zora sebelum akhirnya Zora ikut pergi menjalani hari-harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany of Love
ChickLitBerawal dari tindakan tak terduga dengan menerima tantangan tanpa berpikir panjang dari lawan mainnya. Dialah Zavier Rifaldo Gustian, manusia dengan pamornya yang tinggi, berspekulasi ingin menyangkal pemikiran orang-orang terhadap dirinya. Zavier m...