K : 4. Naik!

6.5K 946 285
                                    

Rosé menatap teman sekelasnya sembari menopang dagunya dengan tangan kiri sedangkan tangan kananya mengetuk meja dengan pensil.

Netra coklatnya menatap kertas jawabannya sendiri yang anehnya Ia beri nama Lisa Minari, daan sudah dipastikan jika kertas Lisa bernama Fanny Rosélia alias dirinya. Singkatnya, Lisa mengerjakan ulangan sebagai Rosé dan sebaliknya.

Bukan tanpa alasan tentunya, gadis bernama lengkap Lisa Minari itu selalu saja dimarahi oleh sang Ayah karena nilai ulangan yang tidak memuaskan, nilai dengan lebih dari KKM sedikit memang tidak bagus untuk ukuran anak dari seoarang Dosen. Yaps! Ayah Lisa adalah seorang Dosen dari universitas terkenal di kota ini.

Sekeras apapun usaha Lisa untuk belajar. Tetap saja tidak akan baik jika semua itu dilakukannya atas dasar paksaan. Lisa tidak menyukainya, dia sejujurnya tidak ingin mengikuti jejak ayahnya dengan menjadi seorang dosen.

Sebaliknya, Rosé justru dimarahi jika mendapat nilai diatas delapan lima. Gadis berpinggang kecil itu memang selalu mendapat nilai sempurna entah kenapa, Bahkan diatas sembilan puluh saat ujian nasional SMP dulu, hingga pada akhirnya mendapatkan beasiswa yang membuat kedua orangtuanya kesal.

"WTF BEASISWA!!"

Irene berteriak setelah mendengar jika putrinya mendapat beasiswa, kemudian menyerahkan formulir itu pada Rosé. "Kamu bakar aja ni kertas, nangis darah buna liatnya."

Itu adalah alasan mengapa kini gadis bernama Rosé ini suka mencari masalah dan memgumpulkan poin bahkan kini tak peduli jika nilainya akan ditukar dengan Lisa.

Sekeras apapun Rosé melupakan pelajaran dan memilih untuk tak peduli, namun anehnya nilai seakan mengerjainya dan tetap memberikannya sebayak sembilan puluh bahkan lebih.

"Woe Rosé nomor 6 paan?" Tanpa menoleh pun, Rosé tau yang berbisik itu adalah oknum bernama Bangchan.

Bukannya menjawab, Rosé pura-pura tidak mendengar bisikan Bangchan, melainkan tersenyum miring dengan tatapan sok polosnya. "Apa Chan? Nomor enam?"

Gadis itu memang tidak berteriak, namun karena situasinya begitu hening hingga nafas pun terdengar hingga kelas tetangga, seruan Rosé tentu saja menjadi pusat perhatian.

Dan ingin rasanya Bangchan mengubur Rosé hidup-hidup.

Bukannya menyelamatkan Bangchan dari tatapan maut seoarang guru Fisika, Teman nya yang lain justru semakin meledeknya.

"Apa gak kedenger Bangchan. Nomor tujuh? Tujuh belas?" Padahal bangchan tidak mengatakan apa-apa namun kini Felix yang duduk tak jauh darinya bertanya sok polos seperti orang budeg.

"Nomor berapa, Bangchan?" Tanya Pak Sehun dengan nada rendah miliknya. Bibirnya tersenyum manis namun matanya menatap dengan tajam setajam tikungan teman.

Dengan bodohnya, bangchan memeriksa soal yang belum Ia kerjakan. "Nomor enam sama sembilan pak."

"CD." Jawab pak Sehun, namun tetap Bangchan tulis tanpa pikir panjang.

Rosé yang duduk di sebelah tempatnya hanya menatap bangchan tak percaya. "Bego."

Bangchan yang mendengar itu hanya menjulurkan lidahnya.

"Waktu habis, selesai tidak selesai harus dikumpulkan."

Para murid menatap pak Sehun cengo. Bagaimana tidak, ini bahkan belum genap tiga puluh menit mengerjakan 50 soal PG dan Esai mapel Fisika yang dimana Esainya akan beranak cucu.

Tidak hanya sekarang, Pak Sehun pernah memberikan soal yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu menahu jawabannya atau soal yang bahkan materinya belum pernah dibahas. Guru Fisika satu ini bersikap seolah muridnya tidak boleh mendapatkan nilai seratus. jangankan seratus, nilai delapan lima aja udah keajaiban dunia. Pak Sehun ini memang terkenal dengan sebutan guru pelai alias pelit nilai.

KETUA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang