4. Sekilas tentang masa lalu II

30.3K 3.3K 109
                                    

Mendengar Dharma kabur bersama Widuri tepat di hari pernikahanku, membuat hatiku seketika hancur lebur. Aku tidak pernah menyangka akan kembali dikhianati oleh orang yang sangat kucintai. Setelah kedua orang tuaku, kini Dharma dan Widuri yang melakukannya kepadaku.

Hingga saat ini aku masih tak dapat melupakan bagaimana marahnya Papa waktu itu. Bukan hanya kepada utusan keluarga Dharma saja, aku yang notabene sebagai korban pun ikut mendapat amukan Papa. Papa mengatakan bahwa aku telah mempermalukan keluarga. Andai Papa tahu bahwa aku juga tak kalah malunya saat itu. Bahkan kalau bisa aku lebih memilih untuk masuk ke dalam bumi daripada mendapatkan cibiran orang.

Tidak sampai di situ saja, Evelyn juga kembali menunjukkan sikap aslinya. Ia terus tertawa sambil mengejek kebodohanku. "Pria itu sepertinya lebih cepat sadar daripada yang kuperkirakan. Gadis sejelek dirimu pantasnya dibuang saja ke laut. Berterima kasihlah kepada sahabatmu itu karena telah berbaik hati menyelamatkan pria yang kau cintai itu, hahaha..."  entah dimana letak lucunya perkataannya itu, hingga ia terus tertawa sambil mengacungkan jarinya menunjukku dengan tatapan puas.

Malu, sakit, kecewa menggambarkan perasaanku saat itu. Bahkan tak satu orang pun yang mau menghiburku. Papa lebih memilih untuk marah, sedangkan Mama tiriku sibuk menenangkan kemarahan Papa, seolah saat itu Papa adalah pihak yang paling terluka. Sedangkan saudaraku yang lainnya lebih suka sibuk menggosipkan aku. Satu-satunya yang tidak ambil peduli dalam keadaan itu hanyalah Angga. Sayangnya alih-alih menenangkanku, remaja tanggung itu lebih suka menghabiskan waktunya untuk kembali bermain game di kamarnya.

Dari sekian banyaknya orang yang menjadi saksi kegagalan acara pernikahanku saat itu, hanya Tante Rima yang satu-satunya menunjukkan empatinya kepadaku. Dengan baiknya ibu dari Adrian itu menghibur dan menguatkanku. Tidak hanya sampai di situ saja, wanita yang kuanggap sebagai ibu peri itu juga memaksa Adrian untuk kembali ke Indonesia. Ia beralasan mungkin dengan kedatangan Adrian aku bisa mengalihkan sedikit kesedihanku.

Tak disangka ternyata perkiraan tante Rima memang benar. Kepulangan Adrian ke Indonesia dapat membuatku sedikit bangkit. Walaupun sikap keluargaku masih tetap menyalahkanku, namun saat itu aku dapat menghadapinya karena tidak sendiri lagi.

Sedikit demi sedikit aku mulai kembali menata hidupku lagi. Hal pertama yang kulakukan adalah mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaanku. Pada saat itu tidak sanggup rasanya bila harus mendengar omongan orang yang tidak habis-habisnya menceritaiku.  Ternyata keputusanku itu sudah tepat. Terbukti aku merasakan setengah bebanku sedikit terangkat. Aku tidak perlu lagi berpura-pura tegar menyembunyikan kegagalan pernikahanku.

Andil Adrian pun cukup besar pada saat itu. Dengan ide cemerlangnya, pria cinta pertamaku itu mengajakku menjadi rekan bisnisnya. Dimana pada saat itu ia membuka sebuah restoran fine dinning yang dikelola olehku. Awalnya aku menolak idenya. Biar bagaimanapun aku tidak berani bermain-main dengan modal besar. Tidak tanggung-tanggung, setahuku Adrian sampai menghabiskan milyaran uang demi mewujudkan restoran tersebut.

Namun Adrian tetap keukeuh dengan keputusannya. Ia mengatakan bahwa aku sanggup mengelolanya. Bahkan bujukannya perlahan berubah menjadi paksaan kurasakan pada saat itu. Akhirnya karena tak enak hati, maka akupun memutuskan untuk menerima tawarannya hingga tak terasa aku perlahan mulai menerima keadaan.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan lalu lanjut ke tahun, hingga tak terasa aku sudah mengelola restoran Adrian selama dua tahun. Begitu juga dengan hubunganku bersama pria itu, semakin hari bertambah erat. Adrian tidak malu menunjukkan perhatiannya kepadaku. Sebagai wanita tak ayal perilakunya tersebut membuatku berbunga-bunga. Dan berhasil mengubah rasa sakit hatiku perlahan menjadi sembuh. Aku tidak menampik ternyata rasa cintaku kepada Adrian belum sepenuhnya hilang.

Tidak sampai di situ saja, tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh tujuh, Adrian mengejutkanku dengan tindakannya yang melamarku di hadapan seluruh karyawan dan juga keluarga kami berdua. Tanpa ada proses pacaran. Bayangkan, wanita mana yang tidak meleleh hatinya diperlakukan begitu?

Tanpa perlu berpikir dua kali aku segera menerimanya dengan tangis haru yang penuh bahagia. Saat itu aku merasa Tuhan maha adil mengganti semua kesedihanku dengan kebahagiaan yang tidak terkira. Melihat aku yang menangis haru Adrian langsung menciumku dengan gemas, yang langsung mendapat sorakan heboh dari para karyawan restoran. Saat itu juga aku menobatkan bahwa itu adalah malam terbahagia sepanjang hidupku.

Sayangnya rasa percaya diriku terlalu tinggi. Aku tidak pernah menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah takdirku. Setelah dibawa terbang oleh Adrian sampai ke awan-awan, aku tidak menyangka bahwa pria itu juga yang menghempaskanku ke dasar bumi hingga jatuh tak tersisa.

Tepat seminggu menjelang pernikahan kami, aku berencana ingin menemui Adrian. Entah kenapa menjelang pernikahan kami pria itu semakin sulit untuk kububungi. Tanpa ada menaruh sedikit pun rasa curiga, saat malam tiba aku bergegas menuju apartmennya. Karena aku mengetahui nomor sandi apartmennya, maka tidak ada kesulitan bagiku untuk memasukinya.

Namun sekali lagi aku ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Apa yang kulihat di depan mataku berhasil menjadi mimpi burukku selama bertahun-tahun kemudian. Pada saat itu dengan jelas aku melihat pergumulan panas Adrian bersama seorang wanita yang begitu kukenal terjadi di atas sofa yang pernah menjadi saksi ciuman pertama kami.

Kakiku langsung lemas melihat semua adegan kenikmatan itu. Bahkan untuk berteriak marah pun aku sudah tidak sanggup lagi. Yang bisa kulakukan  hanya melihat punggung Adrian yang terus bergerak memuaskan wanita yang mendesah keras di bawahnya.

Dan wanita itu adalah Evelyn, kakak tiriku.

Setelah mendapat kepuasannya, akhirnya keduanya menyadari kehadiranku. Dengan jijik harus kuakui bahwa aku dapat melihat dengan jelas pancaran kebahagiaan tertera jelas diwajah keduanya, walaupun sesaat kemudian berganti dengan kekagetan. Khususnya Adrian.

"Erika...!" Aku masih ingat bagaimana pekikan Adrian menggema di telingaku saat itu. Ia bahkan harus kerepotan mencari celananya untuk menutupi aset yang seharusnya hanya aku wanita yang boleh melihatnya, selain ibunya.

Alih-alih marah atau memakinya, aku malah merangkak menuju kaki Adrian yang masih terlihat takut dan panik memandangku.

"Kenapa harus kamu? Kenapa harus kamu Adrian...!" Tanpa malu aku meraung jatuh tersungkur di bawah kaki pria cinta pertamaku itu. Mungkin kalau pria yang lain, aku masih sanggup menahan rasa sakitnya bila dia tergoda oleh Evelyn. Tapi ini Adrian. Adrian sahabatku yang mengetahu bagaimana jahatnya perlakuan kakak tiriku itu kepadaku? Lalu kenapa dia tega melakukan itu semua kepadaku. 

Tapi hingga suaraku habis, Adrian hanya diam membisu, tanpa mau sama sekali menjawab pertanyaanku. Bahkan dari ekor mataku aku masih dapat melihat bagaimana gestur tubuhnya terlihat melihat kebelakan seperti mencemaskan Evelyn yang masih belum mengenakan pakaian. Saat itu juga aku baru tahu ternyata pria yang sangat kucintai itu, ternyata jauh lebih jahat dari Dharma. Adrian bukan hanya sebagai pengkhianat, tapi bagiku ia seperti pembunuh berdarah dingin.

Maka dari situ kuputuskan untuk mengharamkan namanya di hidupku. Tidak peduli bahwa dia menjadi kakak iparku hingga sampai saat ini. Namun aku bersumpah, sampai raga ini lenyap tak akan pernah ada maaf bagi pria itu.








Suami PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang