17. Masalah anak

31.1K 2.6K 68
                                    


"Er, teman Mas ada merekomendasikan seorang dokter kandungan bagus. Kalau ada waktu kita kesana yuk untuk periksa."

Tanganku yang tadinya sibuk memasukkan baju bersih yang telah disetrika ke dalam lemari mendadak berhenti.

"Maksud Mas?" Aku berbalik menatap Mas Libra yang sedang duduk di pinggir kasur.

"Tidak ada maksud apa-apa. Mas hanya mau kita periksa aja. Siapa tahu nanti ada vitamin untuk kita berdua."

Aku menghela nafas mengerti arah tujuan pembicaraan Mas Libra. "Mas ingin aku periksa kesuburan?" tembakku langsung.

Mas Libra tersenyum tenang. "Bukan kamu, tapi mungkin Mas yang perlu konsultasi. Tapi alangkah baiknya kalau kita berdua periksa. Kan lebih enak aja kelihatannya."

Mas Libra terlihat jelas berusaha memilih kata-kata yang tidak menyudutkanku. Aku salut melihat kedewasaannya, namun saat ini aku tidak bisa memuluskan rencananya tersebut. Periksa ke dokter kandungan sama saja dengan bunuh diri. Tentu saja aku tidak ingin kelakuanku terbongkar.

"Tidak perlu. Aku dan Mas sehat-sehat saja. Mungkin saja belum waktunya kita memiliki anak. Siapa tahu Tuhan masih membiarkan kita menikmati waktu berdua," bijakku menutupi kebohonganku.

Aku melihat Mas Libra ingin membantahku, namun urung dilakukannya saat melihatku berjalan mendekatinya dan duduk disampingnya.

"Gak usah merasa terbeban, Mas," aku mengambil tangannya ke pangkuanku lalu menyenderkan kepala ke pundaknya dengan manja. Cara ini kulakukan untuk merayunya.

Hembusan nafas Mas Libra terdengar berat. "Mas hanya merindukan seorang anak darimu," ujarnya pelan. Tidak ada tampak kebohongan di matanya. Hal itu tak ayal membuat hatiku tersentuh, namun sedikitpun tidak ada niat untuk mengabulkan permintaannya tersebut.

"Kita masih punya banyak waktu," aku mengusap hidungku ke lehernya. Wangi tubuhnya yang maskulin selalu bisa menenangkanku.

"Mas hanya khawatir bagaimana bila kesehatan Mas sendiri yang bermasalah. Alangkah baiknya kita dapat mengetahui dengan cepat sehingga dapat mengobatinya."

Aku menarik nafas dalam berusaha tenang. Kali ini aku tidak suka dengan tekad Mas Libra yang teguh tidak bisa diganggu gugat. Rayuanku barusan sepertinya tidak berpengaruh.

"Bagaimana bila aku yang bermasalah?" ucapku sendu dengan mata menyiratkan ketakutan. "Aku tidak ingin hal itu membuat kita berpisah. Aku tidak mau Mas," panikku cemas. Baru kutahu ternyata aku memiliki bakat terpendam untuk memanipulasi. Kelamaan menjadi korban membuatku tanpa sadar mencontoh kejahatan mereka.

Raut wajah Mas Libra seketika berubah menjadi merasa bersalah. "Maaf Er, Mas gak bermaksud menyinggungmu. Apalagi sampai membuatmu salah paham."

"Tapi ucapan Mas ini sudah membuktikan. Ngapain coba kita ke dokter kalau gak untuk periksa. Bagaimana kalau Mas baik-baik saja dan sebenarnya aku yang bermasalah?" tatapku menantangnya. "Terus selanjutnya bagaimana?" Ucapku dramatis dengan mata berkaca-kaca.

"Harus kamu tahu ada atau tidak adanya anak tidak akan membuat kita berpisah. Pernikahan kita sakral dan itu berlaku selamanya."

"Dapatkah aku mempercayainya?" lirihku parau.

"Tentu saja kamu harus mempercayai itu. Mas janji kedepannya tidak akan pernah ada pembahasan seperti ini lagi." Ketegasan di wajah Mas Libra menunjukkan keseriusannya. Ucapannya bagaikan sumpah setia untukku.

Aku tersenyum senang dalam hati. Rencanaku berhasil. Sampai kapanpun aku tidak ingin ada pembahasan mengenai anak di dalam rumah tangga kami. Kecuali bila kami berpisah, Mas Libra bebas membahas ini dengan calon istrinya kelak. Kupikir itu cukup adil bagiku.

"Jadi, jangan sedih lagi ya," pintanya lembut berusaha membujukku.

Tanpa sadar air mataku jatuh di depannya. Sesaat aku merasa tidak pantas membohonginya. Dadaku merasa sesak ingin mengungkapkan kesalahanku.

"Tolong jangan nangis lagi Er." Tangannya terulur cepat menghapus air mataku lalu menarikku pelan ke dalam pelukannya "Mas yang salah. Maaf kalau perkataan tadi membuatmu tersinggung," ucapnya terdengar menyesal.

Aku mengangguk pelan di dadanya. "Mas tidak sepenuhnya salah. Mungkin aku saja yang terlalu sensitif. Maafkan aku juga ya, Mas ," pintaku serak sambil menatap matanya.

"Iya. Sepertinya kita sama-sama salah," desahnya pelan.

Aku tersenyum tipis kepadanya. "Yakinlah Mas, kelak kamu pasti akan memiliki keturunan," ujarku berkata dalam pelukannya. Tanpa disadari Mas Libra aku sengaja tidak menyebutkan keterlibatan diriku dalam kehidupannya kelak. Hari depan siapa yang tahu. Mungkin saja nanti pernikahan kami tidak bertahan. Namun satu yang pasti, aku tetap berdoa semoga Mas Libra diberikan keturunan walaupun nanti bukan dari rahimku.

"Tentu saja." Mas Libra berkata tegas. "Mas percaya kita berdua pasti akan dikaruniai anak yang lucu-lucu. Berdoa saja agar dalam waktu dekat ini Tuhan memberikan kita kepercayaan."

Aku pura-pura mengangguk mengiyakan.

"Tapi daripada berdoa, Mas lebih suka berusaha. Bukankah keduanya sama pentingnya?" ujarnya jenaka sambil menaik-naikkan sebelah alisnya menggodaku.

Aku memutar bola mataku sebal. Ujung-ujungnya pasti selalu mengarah ke situ. Sia-sia tadi rasanya aku sempat menangis sedih.

"Kita coba yuk Er, berusaha sekarang," bujuknya penuh semangat. Kalau begini hilang sudah sikap kakunya. Atau ini hanya caranya saja untuk mengalihkan pembicaraan.

"Enggak ada usaha-usaha," sewotku, menepis tangannya yang mulai menyentuhku. "Ini masih sore loh Mas, apa gak malu di dengar sama yang lain," protesku sebal kepadanya sambil mengusap kasar bekas air mataku.

"Mereka pasti maklum kok," sahutnya cepat. "Asal kamu gak teriak kekencangan," kekehnya pelan.

Kontan saja membuatku mencubitnya kuat. Enak aja Mas Libra menuduhku seperti itu. "Gak mau. Lebih baik aku keluar sekarang daripada meladeni permintaanmu Mas," ujarku, sambil melepaskan diri dari pelukannya tapi tak berhasil.

"Pelit kamu," cibirnya.

"Terserah!" Jawabku dengan senyum terkulum.

"Gak sayang suami kamu," sungutnya lagi.

Aku semakin keras tertawa. Aku tidak percaya Mas Libra dapat bertingkah semenggemaskan ini. Karena itu demi menghentikan permintaannya aku segera mengecup bibirnya pelan.

"Sudah kan," ucapku manis.

Mas Libra yang masih kaget dengan tindakanku barusan langsung menggeleng pelan. "Cepet banget, masih belum terasa, Er."

"Gak ada pengulangan lagi," aku menatapnya gemas.

"Kalau begitu, biar suamimu ini yang mengulangi," ucapnya dengan senyum misterius.

Alarm tanda bahaya segera berbunyi di kepalaku. Gawat! Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Nafasku mendadak cepat saat Mas Libra menyentuh bibirku sensual. "Katakan, bibir ini milik siapa?" tuntutnya dengan nada menggoda. Matanya tampak kelam menyimpan gairah yang besar. Salahku sendiri membangunkan macan tidur.

Belum sempat aku membalas, tiba-tiba terdengar suara ketukan mengagetkan kami. Kesempatan itu langsung kugunakan untuk menjauh dari Mas Libra. Dan untungnya Mas Libra sama sekali tidak protes.

"Masuk!" Seruku kepada seseorang di luar sana. Tak lama muncul Rani dari balik pintu dengan kepala menunduk. Kutebak ia pasti gugup melihat kehadiran Mas Libra di dalam kamar.

"Ada apa, Ran?" tanyaku lembut

"Ada tamu datang mencari Ibu," jawabnya sedikit segan.

Aku dan Mas Libra seketika saling pandang. "Siapa?" tanyaku penasaran. Karena seingatku aku tidak mempunyai janji dengan seseorang.

"Seorang pria, bu. Katanya dia kakak ipar ibu."

Mendadak tubuhku berubah tegang. Untuk apa Adrian datang ke rumah ini mencariku?







Suami PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang