Sesampainya di rumah yang kutuju, aku langsung menyuruh Pak Edi, nama pengemudi ojek yang kutumpangi, untuk menghentikan motornya tak jauh dari gerbang sebuah bangunan besar nan mewah bergaya Eropa.
"Tunggu di sini bentar ya Pak. Saya janji gak akan lama," setelah mengatakan itu aku segera berlari menerobos hujan meninggalkannya.
"Ada perlu apa ya, Mbak?" Seorang pria berbadan tegap langsung keluar dari pos satpam menghampiriku. Matanya memicing memandangku curiga dari atas sampai bawah menilai penampilanku.
"Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," kataku lugas tanpa merasa terintimidasi dari luar pagar
Tak lama terdengar suara tawa rendah keluar dari mulut pria tersebut. "Lain kali saja bertemunya. Malam-malam begini tuan kami tidak menerima pengemis," katanya mengejek sambil menunjuk penampilanku yang jauh dari kata layak. Di belakangnya, beberapa temannya berjaga ikut serta menertawakanku. Mereka pikir mungkin aku sudah tidak waras.
Malas meladeninya aku balas menatapnya tajam. "Tolong panggilkan Ibu Rahardjo, katakan seorang wanita bernama Erika Syudar mencarinya." Kataku tegas nyaris memerintah.
Mendadak tawa pria itu dan temannya terhenti. Tatapannya pun berubah mulai serius menatapku. "Ada kepentingan apa kamu mencari Nyonya malam-malam begini?" tanyanya penasaran. Sepertinya ia tahu aku sedang tidak main-main.
"Tidak perlu tahu apa yang menjadi urusanku. Cukup beritahukan saja kepada Ibu Rahardjo akan kedatanganku."
Dia berpikir sebentar kemudian menoleh ke belakang melirik teman-temannya. Terlihat jelas ia sedang meminta pendapat dari mereka. Tidak terdengar ada percakapan, cuma aku melihat anggukkan kepala dari yang lain. Entah apa artinya, tapi aku berharap sesuatu yang baik.
Tak berapa lama kemudian ia kembali berbalik lalu menatapku lekat. "Saya akan menghubungi kepala pelayan di dalam agar memberitahukan kedatanganmu kepada Nyonya."
"Terima kasih." ucapku lega. Akhirnya usahaku berhasil juga
"Tapi..." ia melanjutkan kalimatnya lagi. "kalau ternyata Nyonya menolak bertemu denganmu, maka sebaiknya kamu meninggalkan tempat ini. Bagaimana, apakah kamu setuju?"
Tanpa berpikir lama aku langsung menyetujuinya. Kupikir itu adalah keputusan yang terbaik.
Selanjutnya salah satu dari antara petugas keamanan tersebut langsung menghubungi ke dalam rumah memberitahukan kedatanganku. Entah apa tanggapan dari dalam, namun aku melihat beberapa kali pria itu melirikku sambil mengangguk-angguk patuh.
Selesai menutup teleponnya pria tersebut terlihat mengatakan sesuatu kepada yang lainnya. Kemudian dua orang dari mereka segera berlari membuka pintu gerbang selebarnya lalu mempersilahkanku masuk ke dalam dengan hormat. Berbanding terbalik dengan sikap mereka di awal tadi.
Ini sedikit aneh menurutku. Mengapa mereka bisa berubah secepat ini?
Malas menerka-nerka, aku melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Secepatnya pria tadi langsung datang memayungiku dari samping.
Tentu saja aku langsung menolaknya dengan cepat, namun ia bertahan melakukannya. Enggan ribut akhirnya kudiamkan saja tindakannya.
Bersamaan dengan itu, mataku menangkap dari dalam rumah muncul sosok orang yang ingin kutemui. Ditemani seorang wanita lebih muda darinya, beliau berjalan tergesa menghampiriku. Tidak dipedulikannya tetesan air hujan membasahi tubuhnya. Pandangannya juga tak lepas menatapku, seolah menyimpan beribu makna yang tak dapat kuartikan.
Saat jarak kami semakin dekat entah kenapa mataku terasa panas hingga menjadi perih. Sebisa mungkin aku menahan agar tidak kelihatan lemah di depannya. Aku tidak ingin pertemuan pertama kami ini dirusak oleh tangisanku.
Lalu ketika Ibu Rahardjo tiba di depanku, pria yang mendampingiku tadi langsung membungkuk hormat di depannya.
Lantas ketika aku ingin mengikuti caranya, memberi hormat kepada Bu Rahardjo, wanita anggun itu lebih dulu bertindak memelukku di depan semua orang. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, kecuali tangannya yang memelukku erat seolah memberiku perlindungan.
Seketika tangisku pecah saat itu juga. Apa yang dari tadi kutahan kuluapkan di hadapannya tanpa rasa malu. Segala beban di hatiku hingga membuatku sesak bernafas kukeluarkan semua di bahunya. Apa yang kurasakan selama ini terlalu berat untuk kutanggung. Bak anak kecil aku menangis tersedu-sedu di pelukannya mengadukan semua kehidupanku kepadanya tanpa kata-kata.
"To-long aku...tolong se-lamatkan aku..." Tanpa malu aku jatuh menangis bersujud di kakinya memohon belas kasihannya. Karena hanya dia satu- satunya yang kutahu dapat membebaskan aku dari belenggu menyesakkan ini. Kalau tidak, aku takut diriku bisa gila tidak sanggup menahan semua pengkhianatan yang kualami.
Melihatku jatuh bersujud di depannya, Bu Rahardjo buru-buru menarikku untuk bangkit kembali. Namun aku bersikeras tetap melakukannya berharap belas kasihan dari beliau. Akhirnya karena melihatku tak ingin bangkit, tanpa kuduga Bu Rahardjo ikut berlutut mengambil posisi sepertiku.
Hal itu jelas saja membuatku panik. Begitu juga dengan para pegawai lainnya yang melihat. Siapa juga yang tidak heboh melihat sang nyonya berlutut di tengah hujan.
Tak ingin disalahkan aku meminta Bu Rahardjo bangkit berdiri. Bukan hanya aku saja, wanita muda yang mendampinginya tadi pun turut ikut membujuk, namun sayangnya tetap tidak membuahkan hasil.
"Katakan apa yang ingin kulakukan untukmu?" Bu Rahardjo bertanya kepadaku. Suaranya pelan tapi sekaligus terdengar dingin di telingaku. Sesaat aku bergidik mendengarnya. Tidak ada kehangatan dalam suaranya, kecuali seperti kemarahan terpendam yang ingin dimuntahkan..
Dengan kasar aku menghapus air mataku sebelum balas menatapnya untuk melihat ekspresi wajahnya.
Dan seperti yang kutebak hanya kebencian terlihat jelas di pijar matanya. Dingin sekaligus mematikan. Sejenak aku tertegun dibuatnya. Dia bukan seperti dia yang kukenal dulu, kalau benar dia adalah ibu kandungku.
"Katakan apa yang bisa kulakukan untukmu, sayang?" Bu Rahardjo kembali mengulangi pertanyaannya kali ini dengan lebih lembut. Senyumnya terukir indah menghiasi wajah cantiknya, tapi tidak dengan matanya yang seperti menjanjikan sesuatu yang berbahaya.
Menarik nafas dalam aku menguatkan hati untuk mengatakan apa mauku kepada Bu Rahardjo. Aku sudah melangkah sejauh ini. Siapa pun dia sudah kuputuskan untuk meminta bantuan darinya.
"Lakukan sesuatu untukku," ucapku tegas meskipun suaraku sedikit serak karena banyak menangis dan juga terlalu lama menahan dingin.
"Apa itu?" Bu Rahardjo tampak penasaran mendengar kelanjutan ucapanku. Bela aku di depan para pengkhianat itu." Secara tersirat aku menuntut balas dari semua orang yang telah menyakitiku. Kebencianku terhadap mereka yang menyakitiku telah mencapai titik akhir. Kali ini tidak ada lagi kata maaf bagi mereka semua seperti sebelumnya.
"Dengan cara apa akan kulakukan untuk mereka?"
Tanpa berpikir dua kali aku segera mengatakan keinginanku di depan beliau. "Cukup ajarkan kepada mereka untuk menanggung rasa sakit seperti yang kualami."
“ Itu saja?” beliau menaikkan sebelah alisnya menantangku. Sudut bibirnya sedikit terangkat sinis.
“Cukup itu saja. Tapi pastikan sakitnya dua kali lipat dari yang kurasakan.” kataku kejam tanpa perasaan. Kemudian kepalaku mendongak ke langit membiarkan hujan turun membasahi wajahku. Saki tapi melegakan.
Bu Rahardjo mengangguk menyetujui keinginanku. "Jangan khawatir. Mata ganti mata, luka ganti luka. Akan kutunjukkan kepadamu bagaimana cara membalas para pengkhianat itu semua." Matanya menyiratkan kesungguhan besar saat mengatakannya. Persis seperti sebuah sumpah yang tidak dapat ditarik lagi.
Dan itu artinya pembalasan pun dimulai....
***
Sampai ketemu di part selanjutnya nanti malam🖐️
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
RomanceFaktanya, pria lebih menyukai kecantikan dibandingkan kebaikan hati wanita. Erika Syudar sudah mengalaminya sendiri. Terlahir dengan wajah pas-pasan membuatnya selalu gagal dalam percintaan. Terbukti sudah dua kali Erika ditinggal oleh calon suaminy...