27. Ketegasan

30.5K 3.4K 384
                                    

"Ceraikan aku."

Senyum di wajah Mas Libra seketika berganti menjadi tatapan tajam.

"Erika, kamu tidak salah bicara kan?" Mas Libra masih mencoba berusaha tenang, meskipun di mataku terlihat sia-sia.

"Tidak, Mas. Apa yang kamu dengar tadi benar adanya. Saat ini permintaanku darimu adalah agar kita bercerai," ulangku lebih jelas tanpa mengalihkan pandanganku dari matanya.

Tiba-tiba terdengar suara kursi bergeser kasar. Dengan cepat Mas Libra bangkit berdiri mendekatiku dengan tatapan seolah ingin menerkamku.

"Permintaan apa itu? Jangan mengada-ada kamu. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa kamu permainkan. Jadi, tarik kembali kata-katamu barusan!" bentaknya sengit memperingatkanku.

Lucu sekali, kenapa dia yang marah saat ini. Bukankah aku hanya mempermudah jalannya untuk bersama Tarisa.

"Tidak ada yang salah dengan kata-kataku tadi," jelasku tenang. "Aku hanya ingin mempertegas hubungan ini. Bukan gayaku mendiam-diamkan masalah. Sedangkan pernikahan kita sudah jelas makin ke sini makin terasa tidak sehat. Kasus yang menimpaku sekarang membuat mataku terbuka lebar. Ternyata meskipun aku memiliki seorang suami nyatanya aku tidak bisa berharap dapat dilindunginya. Paling tidak meskipun tanpa cinta, sebagai partner kita seharusnya dapat saling membantu. Sayangnya itu tidak kudapatkan darimu. Lalu apa gunanya menikah denganmu? Bila kenyataannya dirimu bukanlah tempat untukku bersandar. Karena itu kuminta padamu Mas untuk mengakhirinya."

"Omong kosong apa lagi ini, Er!" Mas Libra bangkit dari duduknya lalu menatapku tajam. "Tidak ada yang salah dengan pernikahan kita. Kita menikah murni karena saling mau dan tidak ada paksaan di dalamnya. Jadi tuduhanmu yang mengatakan kalau aku memanfaatkanmu itu sungguh keterlaluan."

"Benarkah itu? Tapi kenapa aku tidak merasakannya sama sekali? Di mana kamu Mas saat aku dianiaya?" Sindirku balik. "Seharusnya sebagai seorang suami kamu melindungiku, bukan malah sibuk membela si artis itu."

Mas Libra tampak gelagapan sebentar sebelum kembali mengendalikan dirinya. Hal itu tak ayal membuatku tersenyum miris. Sudah terbukti kan siapa yang berbohong sekarang?

"Er, dengarkan Mas. Masalah yang terjadi denganmu sekarang murni hanya kesalahpahaman biasa. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita. Bagiku kamu tetap istriku selamanya. Camkan itu baik-baik!"

"Masalahnya, sekarang aku yang tidak ingin lagi menjadi istrimu," dengusku kasar.

Mata Mas Libra terbelalak lebar menatapku. Kurasa ia tidak menyangka aku berani berkata seketus itu kepadanya.  "Ada apa denganmu, Er?" tanyanya geram. Urat-urat di pelipisnya mulai bertonjolan menandakan ia sedang mencoba mengendalikan emosinya. "Kalau hanya karena pelaku itu tidak mendapat hukuman, aku bersumpah kepadamu secepatnya akan membekuk mereka ke dalam penjara."

"Bukan itu masalah utamanya, Mas. Saat ini aku hanya sedang menyelamatkan diriku sendiri. Sesuai perjanjian kita di awal, aku mau menikah denganmu karena kita sama-sama saling membutuhkan. Hanya saja makin ke sini, aku merasa cuma dirimu yang membutuhkanku. Sedangkan diriku sama sekali tidak bisa mengharapkan bantuanmu. Menurut Mas, apakah itu adil?"

"Demi Tuhan Er, pemikiran dari mana itu! Mas sama sekali tidak pernah berniat memanfaatkanmu," suaranya mulai terdengar melemah. "Mas bersumpah, apapun yang kamu inginkan, selama itu masih bisa kulakukan, akan kuwujudkan untukmu. Jadi menurutku kata-katamu yang mengatakan Mas tidak bisa kamu harapkan benar-benar tidak tepat."

"Tapi realitanya tidak sesuai dengan ucapanmu, Mas," sahutku, mematahkan perkataannya.

"Percayalah Er, Mas sama sekali tidak pernah mengkhianatimu," Mas Libra meraih tanganku berusaha meyakinkanku.

Suami PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang