"Ayo pergi dari sini."
Aku mengernyitkan kening menatap wajah Adrian. Omong kosong apa lagi ini?
Tak mendapat reaksi dariku, Adrian mengulangi kembali ucapannya. "Erika, ayo pergi dari tempat ini. Kita tinggalkan semua. Mari kita mulai hidup baru. Yang hanya kita berdua saja, seperti dulu."
Kurasa Adrian ini sudah geser otaknya. Bisa-bisanya tanpa tahu malu ia berani mengajakku pergi semudah ini. Dikiranya aku mau apa bersamanya?
"Pergilah dari sini. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu," ucapku malas. Menurutku meladeni pria gila ini hanya buang-buang waktu saja.
"Aku sedang tidak main-main, Erika." Suara Adrian terdengar serius. "Keputusanku mengajakmu pergi dari sini adalah yang terbaik. Lihatlah bagaimana kelakuan suamimu sekarang. Buka matamu, Erika. Pria itu tidak setia kepadamu. Satu Indonesia tahu akan pengkhianatannya bersama artis itu. Kalau bukan karena hubungan mereka, mungkin saja kamu tidak akan mengalami penderitaan ini semua. Kumohon sadarlah, Erika!"
Sebenarnya apa yang dikatakan Adrian tidak sepenuhnya salah. Tapi sepertinya ia juga tak ingat kalau dirinya tak jauh beda dari Mas Libra. Heran aku, sama-sama pengkhianat kok saling menyalahkan.
Merasa tidak ada bantahan dariku, membuat Adrian semakin semangat mempengaruhiku. "Tinggalkan saja pria brengsek itu, Er..." nada suaranya terdengar melembut. "Dia sama sekali tidak pantas bersamamu." Yakinnya kepadaku.
"Lalu, siapa yang pantas bersamaku," potongku cepat.
"Yang pasti bukan pria itu," jawabnya semangat. "Masih banyak pria lain di luar sana yang lebih baik. Kuharap kamu mau mempertimbangkan saranku ini. Percayalah, semua ini kulakukan demi kebahagiaanmu."
Mendengarnya berkata seperti itu membuatku ingin rasanya meludahi wajahnya agar menyadarkannya. Untung saja otakku masih berfungsi baik untuk mengendalikan tubuhku.
"Bagaimana kalau kebahagiaanku bersama Mas Libra?" Aku menaikkan alisku sebelah menantangnya.
"Itu tidak benar, buktinya dia bermain di belakangmu." Adrian terlihat tak terima.
"Lantas, apa pedulimu?" tanyaku meremehkannya. "Aku saja yang istrinya tidak keberatan, kenapa juga kau yang kebakaran jenggot? Toh ini rumah tangga kami. Kami yang menjalani, bukan dirimu." ejekku menyadarkannya. Dengan begini Adrian harus tahu di mana posisinya.
"Tapi aku tidak ingin kamu terluka lagi, Er." Adrian berkata frustasi.
"Apa urusannya denganmu kalau aku terluka?" tanyaku dengan tatapan mencemooh. "Tolonglah jangan buat aku tertawa siang ini," sindirku sarkastik.
"Paling tidak, aku dulu tidak pernah mencelakakanmu atau membawamu dalam bahaya. Tidak dulu, atau pun nanti keselamatanmu tetap menjadi prioritasku. Berbeda dengan suamimu. Lihatlah apa akibatnya kepadamu."
"Gak usah membela diri," sahutku menghentikannya. "Bagiku kalian berdua sama saja. Bedanya suamiku mengkhianatiku terang-terangan. Tidak seperti seseorang yang kukenal dulu, yang tega menusukku dari belakang." Cibirku, mengingatkan kesalahannya yang dulu.
Raut wajah Adrian berubah pias. Kutebak pria itu tertohok dengan kata-kataku barusan. Baguslah itu, paling tidak dia harus menyadari kesalahannya. Jangan juga terlalu lama ia menjadi orang muka tembok. Takutnya ini nanti lama-lama yang jadi calon sampah masyarakat.
"Tidak bisakah kamu memaafkan aku, Rika?" pinta Adrian sendu.
"Tidak bisa." Tolakku tegas seperti sebelum-sebelumnya. "Asal kau tahu, untuk melihatmu saja itu sudah bagaikan kesialan bagiku."
"Kalau begitu katakan kepadaku Erika, bagaimana lagi caranya agar kamu memaafkan aku?" tanyanya putus asa.
"Mudah saja caranya," beritahuku cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
RomanceFaktanya, pria lebih menyukai kecantikan dibandingkan kebaikan hati wanita. Erika Syudar sudah mengalaminya sendiri. Terlahir dengan wajah pas-pasan membuatnya selalu gagal dalam percintaan. Terbukti sudah dua kali Erika ditinggal oleh calon suaminy...