Sepertinya nama lain dari kehidupanku adalah kesialan. Siapa coba gak kesal, setelah permasalahanku dengan Mas Libra belum menemui titik terang, kini aku harus menghadapi masalah baru.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, kemarin siang Evelyn tiba-tiba menghubungiku mengajak ketemuan di sebuah kafe yang letaknya di pinggiran kota.
Awalnya tentu saja aku menolak bertemu dengannya. Seingatku aku tidak memiliki kepentingan untuk dibicarakan dengannya. Ditambah lagi pertemuan terakhir kami boleh dibilang tidak baik, jadi menurutku ini aneh bila Evelyn meminta kami bertemu.
Tapi seperti yang sudah ditebak, bukan Evelyn namanya kalau tidak memaksa agar keinginanya tercapai. Ia bankan mengancamku kalau aku tidak mau menemuinya, maka ia sendiri yang akan datang ke rumahku.
Jelas saja itu ide yang buruk. Kedatangan Evelyn sama saja artinya menambah masalah. Aku tidak ingin ia bertemu dengan keluarga mertuaku dan mengarang hal buruk tentangku. Mau tak mau aku terpaksa menurutinya.
Akhirnya, di sinilah aku sekarang. Di sebuah kafe tempat kami janjian bertemu.
Begitu masuk ke dalam kafe aku langsung terpana dengan dekorasinya yang mengusung tema mediterania. Alih-alih kafe biasa ini bisa dibilang lebih mirip lounge mewah. Gaya mewah Evelyn memang gak pernah diragukan.
Saat mataku masih sibuk memindai keseluruhan ruangan, tiba-tiba seorang pelayan pria mendekatiku. Ia mengatakan bahwa Evelyn telah menungguku di ruangan privat.
Dalam hati aku jadi bertanya-tanya, sepenting apa sih pembicaraan ini? Sampai-sampai si ular betina itu mau membuang uangnya hanya untuk memesan ruangan khusus bagi kami. Boleh dibilang ini cukup aneh bagiku.
Tanpa bertanya lagi aku segera mengikuti langkah pelayan pria tersebut menuju ruangan yang dimaksud.
Begitu pintu terbuka dan aku dipersilahkan masuk, mataku langsung bertemu dengan sosok Evelyn. Tapi kini bukan dia yang jadi fokusku, melainkan satu orang lagi yang keberadaaannya sama sekali tidak terpikirkanku.
Tarisa...
Mendadak langkahku terasa berat untuk menghampiri keduanya yang kebetulan duduk berdampingan. Segala pikiran buruk langsung berseliweran di benakku. Salah satunya rencana buruk apa lagi yang mereka susun untukku?
"Ada apa memanggilku?" Tanpa basa-basi aku langsung bertanya kepada Evelyn.
"Duduk dulu. Tidak baik bicara sambil berdiri." Evelyn menjawabku dengan sombongnya.
Spontan aku langsung tertawa sinis. Kemarahanku yang tadinya meredup perlahan bangkit kembali.
"Lantas, apa yang ingin kau sampaikan kepadaku?" tantangku setelah mengambil tempat duduk di depannya.
"Ada banyak yang ingin kusampaikan. Tidak perlu buru-buru."
"Masalahnya aku yang tidak nyaman berada di dekat kalian," ucapku blak-blakan. Dari sudut mataku kulihat Tarisa seperti tidak nyaman dengan jawabanku. Berbeda dengan si muka badak Evelyn yang sama sekali tidak terpengaruh.
"Kau gugup di dekat kami berdua?" Ada rasa bangga di wajah angkuh Evelyn ketika mengatakan itu. Dari dulu wanita satu ini selalu merasa lebih superior dariku.
"Tidak, bukan seperti itu," aku menggeleng pelan, mematahkan asumsi ngawurnya. "Aku hanya muak di dekat kalian. Entahlah, hawa jahat kalian menyerap energi positifku." Aku sengaja mengibas-ngibaskan tanganku seolah mengusir lalat di depan mereka.
Seketika wajah keduanya langsung berubah masam. Membuatku tak tahan ingin tertawa di depan mereka.
"Lancang sekali sikapmu ini, Erika. Seharusnya kamu sadar diri di depan kami. Dirimu tidak ada apa-apanya dibanding kami berdua." Evelyn mengangkat jarinya menunjukku geram. Sepertinya ia sudah tidak tahan lagi bersikap pura-pura baik kepadaku di depan Tarisa. Hanya dalam beberapa menit saja watak aslinya mulai keluar. Sangat disayangkan kecan
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan
RomanceFaktanya, pria lebih menyukai kecantikan dibandingkan kebaikan hati wanita. Erika Syudar sudah mengalaminya sendiri. Terlahir dengan wajah pas-pasan membuatnya selalu gagal dalam percintaan. Terbukti sudah dua kali Erika ditinggal oleh calon suaminy...