28. Terjebak

28.2K 3.1K 188
                                    

Setelah Mas Libra keluar ruanganku alhasil selanjutnya tak ada lagi pembicaraan yang terjadi di antara kami berdua hingga malam tiba. Bahkan ketika ia kembali masuk ke dalam beberapa jam kemudian untuk beristirahat, Mas Libra masih memilih mendiamkanku. Alih-alih mengajakku bicara, suamiku itu lebih asyik menekuri layar ponselnya.

Tak ambil pusing dengan kelakuannya, aku juga  memilih melakukan hal yang sama sepertinya, yaitu menyibukkan diriku dengan ponsel. Apa coba bedanya aku dengan dia, toh aku juga mempunyai ponsel.

Persetan dengan radiasi! Peduli amat dengan ocehan para dokter atau suster yang akan menceramahiku habis-habisan kalau ketahuan menggunakan ponsel saat dalam masa penyembuhan. Tahu apa mereka tentang hidupku. Yang kubutuhkan sekarang adalah mengalihkan pikiranku dari kegilaan ini semua.

Sebenarnya miris memang melihat keadaan kami sekarang. Mengingat bagaimana harmonisnya rumah tangga kami selama satu tahun belakangan ini. Di luar dari rasa saling mencintai, harus kuakui kami berdua berhasil memerankan peran suami-istri dengan baik. Tapi apa mau dikata, Mas Libra sudah menunjukkan pilihannya kepadaku. Meski dia selalu mengelak, tapi tindakannya sudah membuktikan siapa yang akan dipilihnya.

Karena itu, berkaca dari masa lalu, aku memutuskan untuk lebih dulu mengambil sikap tegas. Untuk apa juga ditahan berlama-lama. Cepat atau lambat sudah pasti aku yang akan jadi pihak terbuang. Jadi untuk apa lagi menyiksa diri berlama-lama dalam harapan semu yang berujung kekalahan. Selain buang-buang waktu, aku juga tak ingin membuat mentalku semakin rusak.

"Ekhem...!"

Suara batuk Mas Libra menarikku dari lamunan singkatku. Refleks mataku langsung meliriknya.

"Istirahatlah. Tidak baik berlama-lama melihat ponsel." Ia bicara tanpa mau memandangku. Seolah apa yang ada di layar ponselnya lebih menarik daripada melihat wajahku.

Sebenarnya dia niat gak sih ngajak aku bicara? Masa natap aku aja dia tidak mau. Di sini seharusnya kan aku yang marah, kenapa kesannya dia yang terlihat merajuk, seolah paling tersakiti. Padahal aku hanya mencoba menyelamatkan kami berdua.

Melihat tidak ada gerakan dariku, tiba-tiba Mas Libra segera bangkit menghampiriku lalu merampas ponsel di tanganku kemudian diletakkannya dengan kasar di atas nakas samping tempat tidurku.

Sebenarnya bisa saja aku melawannya, namun mengingat saat ini sudah malam dan sepi membuatku malas berdebat kembali dengannya. Biarlah kali ini aku menuruti egonya sesekali. Siapa tahu ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan kami.

"Tidur Erika. Apa lagi yang mau kamu tunggu," ucapnya rendah sembari mendorongku lembut agar berbaring.

"Ini pemaksaan namanya," gerutuku sewot namun tetap saja kuturuti perintahnya

"Tapi ini dibutuhkan tubuhmu untuk pemulihan. Bukan lihatin hp sambil melamun gak jelas," sindirnya.

"Masalahnya aku belum ngantuk," ucapku jujur.

"Berbaring saja dulu. Pejamkan matamu nanti lama-lama pasti akan tertidur."

Teori dari mana itu? Seandainya bisa semudah itu melakukannya tentu saja obat tidur tidak berguna lagi.

"Mas..." aku memanggilnya pelan.

"Apa?" Sahutnya sembari membenarkan letak selimutku.

"Mengenai pembicaraan tadi,"

"Mas tidak akan pernah mengabulkannya Erika." Potongnya tegas. Padahal aku saja belum sempat menyelesaikan kalimatku.

"Tapi_"

"Fokus saja sama kesehatanmu. Tidak usah pikirkan yang lain."

Masalahnya aku yang tak ingin. Saat ini yang ku mau hanya berpisah darinya. "Mas jangan begini. Tolong kabulkan permintaanku tadi." Aku menatapnya sendu berharap dia luluh kepadaku.

Suami PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang