SATU tahun sudah aku membina rumah tangga bersama Nasha. Tidak jarang pertengkaran kecil terjadi di antara kita ataupun sesama keluarga.
Nasha berulang kali mengeluh tentang keturunan. Sebenarnya aku juga menginginkan keturunan, tapi kalau belum diberi Allah, aku harus ngapain? Kalaupun aku tidak diberi keturunan, aku akan tetap setia sama Nasha, kok. Kecuali kalau dia berkhianat. Dia pun memiliki prinsip yang sama. Semua kesalahan akan dimaafkan kecuali ada yang berkhianat.
Aku baru saja pulang dari masjid setelah menunaikan shalat subuh. Aku melihat rumah yang sepi seperti tidak ada orang. Padahal biasanya Nasha sudah disibukkan dengan beberapa kegiatan dan aku akan membantunya. Tapi aku merasa pagi ini bukan pagi yang indah.
Aku masuk rumah seraya mengucapkan salam, tapi tidak ada sahutan. Sepertinya firasatku benar, ada yang tidak beres.
Aku bergegas menuju kamar. Napasku memburu, kepalaku berdenyut, hatiku panas. Aku sempat terdiam sebelum membuka pintu kamar. Entah apa yang mengganjal, aku tidak tahu. Aku pun membuka pintu kamar pelan. Tidak ada siapa-siapa. Aku memijit pelan pelipisku.
Aku memilih kembali di ruang shalat. Di sana aku mengembalikan sajadah dan peciku. Aku pun kembali pergi ke kamar. Apakah Nasha sedang mandi?
Aku kembali masuk ke kamarku. Aku langsung melepas baju koko panjang yang aku kenakan dengan kaus lengan pendek warna hitam milik Syubban. Tapi sarungku tidak aku lepas.
"Sha? Kamu di mana?" tanyaku dengan nada tinggi. Tiba-tiba saja ada suara isakan tangis dari belakang kasur. Aku mengerutkan kening. Apakah itu Nasha?
Kakiku berjalan ke tempat suara isakan tangis itu. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Sepertinya Nasha sedih lagi karena belum memberikan keturunan untukku. Astaghfirullah!
Dan benar saja, aku mendapati Nasha sedang menangis sesenggukan seraya memeluk kedua lututnya. Aku segera berlari kepadanya dan membawanya ke atas kasur.
"Kenapa, Sha?" Aku mengguncang kedua bahunya. Ia tetap menunduk, membuatku mendesah.
"Ada apa, Sha? Kamu kecewa lagi karena belum kasih aku anak?" Aku memincingkan mata. Aku pun tidak tega melihatnya seperti ini. Walaupun bosan setiap hari bertengkar karena itu, tapi hati ini rasanya enggan berpaling.
"Berapa kali aku bilang, jangan dipikirin! Nanti kalau kamu semakin stres malah bahaya buat janin kamu!" Aku mengusap wajah pelan. Aku salah nggak, sih, ngomong kayak gini?
Nasha langsung memelukku. Ia menenggelamkan wajahnya di dadaku. Sekarang, aku bisa apa selain pasrah dan memberikan ketenangan kepadanya?
Aku merasakan kedua bahunya bergetar hebat. Sungguh, rasanya aku ingin mengeluh. Aku bukanlah tipikal orang yang peka. Bahkan kadang aku harus bertanya kepada orang lain; Apa maksudnya? Atau; Dia kenapa?
"Takut ...," ucapnya di sela-sela tangis yang belum mereda juga, malah semakin keras saja. Aku mengerutkan kening.
"Ada apa? Dek, ayo jawab. Aku nggak paham," jawabku dengan nada heran. Aku sungguh tidak peka masalah seperti ini. Siapa pun, tolong aku!
"Takut ...." Nasha mengelap ingusnya di kausku. Aku tersenyum tipis. Biasanya jika sudah seperti ini, dia akan mengangkat kepalanya dan berhenti menangis. Tapi kali ini dia tidak mengangkat kepalanya. Wahai Nasha, Anda kenapa?
Setengah jam berlalu. Setengah jam pula kami bertahan pada posisi yang sama. Tidak ada pergerakan apa-apa dari Nasha. Sepertinya tangisnya sudah hilang. Tapi kenapa harus diam saja?
Perlahan aku membuka pelukan. Aku membulatkan mata seraya tersenyum tipis. Eh, dia tidur?
Aku pun membaringkan tubuhnya di kasur lagi dengan gerakan perlahan. Setelah dirasa ia tidak bergerak apa-apa dan sudah nyaman dengan posisi itu, aku pun mengecup kening dan bibirnya sekilas. Kedua kantong mata terlihat jelas akibatnya menangis. Tapi aku merasa ada yang berbeda dengan tangisnya pagi ini. Ada apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...