SESUATU yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Aku akan mengucapkan janji sehidup-semati bersama Zaila di hadapan Allah, Malaikat, Rasulullah, Pak Penghulu, Ayah Zaila, Zaila, dan para saksi.
Di depanku ada cermin yang memantulkan diriku. Aku menggunakan kemeja putih, jas hitam, peci hitam, dan celana hitam. Wajahku diberi bedak sedikit. Sebenarnya tidak terlalu mencolok make up-ku, hanya saja wajahku yang memang tanpa make up sudah seperti menggunakan make up membuatku seperti menggunakan make up banyak. Sebentar, banyak sekali kata "make up" ya.
Di samping kananku terdapat Kak Izul, sedangkan di samping kiriku ada Mas Aban. Mereka mendampingiku sebelum aku turun untuk mengucapkan janji ijab qabul. Aku menghadap ke belakang dan menatap keduanya. Mereka tersenyum menggodaku.
"Akhirnya Oppa-nya Syubban nggak jomblo lagi," celetuk Kak Izul dengan senyuman menggodanya.
"Iya ya, Mas. Setelah penantian lama, akhirnya seorang Gus Azmi tidak masuk deretan jomblo ngenes lagi," sambung Mas Aban dengan gayanya yang menyebalkan.
Aku menatap mereka datar. "Setelah penantian lama pula aku tidak kalian protes tentang 'kapan nikah?' oleh kalian dan semua orang."
"Bagus, 'kan, kalau gitu? Kita juga nggak perlu capek-capek ngentorin kamu buat cari jodoh," tambah Kak Izul.
"Aku juga nggak minta kalian buat repot-repot nanya setiap hari gitu, 'kan?" Aku membenahi peci yang aku gunakan.
Mas Aban tertawa lebar. "Gimana rasanya, Mi? Seneng?"
"Deg-degan, sih, Mas," jawabku seraya cengengesan.
"Udah, tenang aja. Nanti kalau udah selesai ijab, dijamin deh, rasanya kayak pengen melayang sendiri." Kak Izul tertawa.
"Bener, tuh! Awalnya emang pengin ditelan Bumi aja, tapi waktu udah selesai rasanya nggak mau besok, deh!" timpal Mas Aban.
"Iya, deh, aku percaya."
"Kamu memang harus percaya, Mi. Banyakin belajar dari Kakak-kakakmu ini. Kalau butuh panduan setelah menikah, kami siap membantu. Ya, nggak, Ban?"
"Ban, Ban! Aku bukan ban, ya! Namaku Aban!" kesal Mas Aban. Aku terkikik.
"Ya, bener banget, Mi. Kalau butuh apa-apa, tanya aja sama yang udah ahli, contohnya kita," lanjut Mas Aban.
Aku mengulum senyum. "Kalian kalau butuh bantuan, juga bisa ngomong ke aku, kok. Walaupun kita nggak jadi 3A yang kayak dulu, tapi hati kita tetap 3A."
"Aku nggak nyangka, ternyata Gus Azmi yang receh masih bisa ngomong bijak," celetuk Kak Izul.
"Ye ... emang aku dikira apa?" kesalku. Kak Izul memang begitu, selalu menghancurkan di ending acara. Meresahkan.
"Udah-udah. Tadi kamu udah dipanggil Ning Fira, tuh. Katanya udah ditungguin penghulu." Mas Aban memecah kerecehan kami.
"Ya sudah, sekarang di mana Bulek Fira?" tanyaku.
Bulek Fira adalah adiknya Ummi. Aku juga didandani Bulek Fira. Katanya, takut kalau ada yang genit sama aku. Aku terkikik. Lucu, nggak?
"Tadi Ning Fira ada di depan, nungguin kita," jawab Kak Izul.
Aku mengangguk. Aku pun berdiri dari kursi rias, lantas disusul keduanya. Mereka pun menuntunku hingga sampai di meja penentuan akan ikatan yang akan kujalani sepanjang hidup dan matiku.
Di sini sudah ada seorang penghulu, keluarga besarku dan keluarga besar Nasha, keluarga besar Syubbanul Muslimin, teman-temanku, teman Nasha, teman Dek Naufal, Dek Rara, Dek Ahmad, dan Bihar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...