20. Taman Kertosari

71 4 0
                                    

DI sore hari yang cerah, aku bersiap pergi ke Taman Kertosari Indah. Taman itu merupakan taman terindah di Blitar, sangat cocok untuk melepas rasa penat dan dahaga setelah bekerja seharian penuh. Terlepas dari itu, aku sudah memiliki janji dengan Nasha, maka aku harus datang apa pun yang terjadi.

"Aku nggak yakin Nasha dibolehin ketemu aku," aku bermonolog sambil mengunci pintu.

Walaupun kedengarannya seperti mengeluh, aku tetap mencoba tersenyum dan semangat memperbaiki keadaan. Berharap dengan cara ini, semua masalah dapat terselesaikan. Paling tidak, ada solusi ataupun aku tahu apa masalahnya.

Aku kembali berpikir sambil keluar rumah. "Kalau Ayah ikut, itu lebih baik."

Aku memandang suasana sore hari yang cerah di depan rumah. Hal itu mendorong keinginanku untuk menghirup udara segar sambil merentangkan tangan. Sangat menyenangkan dirasa.

Benar kata Mas Leo, aku beruntung memiliki tempat tinggal di sini karena suasananya masih asri dan minim polusi. Aku memejamkan mata, kembali merasakan nikmat Allah yang tiada tara. Walaupun ujian selalu menghadang, tapi Allah masih adil padaku.

"Alhamdulillah," gumamku. Aku mendorong sepeda motorku keluar dari gerbang rumah kecilku, lalu mengunci gerbang rumah.

Aku membenahi tas selempang kecil di sisi kanan. Aku memang terbiasa membawa tas kecil untuk membawa barang-barang kecil. Contohnya kunci rumah atau kunci motor, dompet, dan ponsel. Karena itu barang-barang pokok yang harus selalu aku bawa, ataupun setiap manusia yang ideal.

Setelah semua siap, aku pun pergi ke Taman Kertosari Indah.

***

Sesampainya di Taman Kertosari, aku menuruni motor dan menghampiri warung es jeyuk milik sohib-ku—Rozin. Memang benar, setiap sore Rozin mangkal di Taman Kertosari Indah. Sebenarnya tidak hanya di Taman Kertosari, di sini hanya setiap sore saja. Ketika pagi di Aloon-Aloon Blitar, dekat dengan warung nasi uduk andalanku. Saat siang hari di sekolah swasta di Blitar. Saat malam hari hanya di depan rumahnya sampai pukul 20.00 WIB.

Sesampainya di warung kecilnya, aku mengucap salam. Rozin menoleh mendengar suaraku, mungkin merasa tak asing karena saking akrabnya kami. Ia pun menjawab.

"Eh, lo di sini? Ngapain?" tanyanya beruntun. Entah karena kepo atau sekedar basa-basi.

Aku mengangguk kecil karena belum berniat menjawab. Kemudian duduk di sampingnya.

"Makasih tawarannya." Walaupun ia belum menawarkan, tapi inilah kebiasaanku. Justru ini menjadi kesempatanku menjahilinya dan menghilangkan stres pikiran dari Nasha.

Rozin melirikku malas. "Ye ... lo ngejek gue. Gue kan belom nawarin lo duduk. Sengaja lo! Rese emang!"

"Sesama muslim kan harus saling mengingatkan," ucapku sambil mengelum senyum. Sebenarnya senyuman ini hanya senyuman jahil, dan aku tahu ia tak menganggap serius hal ini.

"Iya, Pak Ustadz," jawabnya sambil tersenyum simpul lalu mengupas kulit kacang.

Aku menyudahi kejahilanku karena ia sudah meng-iyakan. Beginilah kami. Jika bercanda, maka akan segera disudahi sebelum kelewatan dan menimbulkan kebencian.

"Gue tuh heran sama lo, Zin." Mulailah kejahilanku yang selanjutnya.

Rozin melihatku singkat, lalu melepeh kacang rebusnya. "Kenapa gue?"

"Lo tuh ganteng, sukanya kalau jalan-jalan pakai koko, peci, jas. Tapi kerjaan lo jualan es jeyuk pakai kaos pendek, celana santai sama topi," lanjutku. Aku ikut memakan kacang rebusnya karena ditawari Rozin.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang