Hari-hari pun berlalu. Semua kulewati seperti biasa. Sendiri. Tanpa teman yang disebut istri. Aku bosan. Pekerjaan menumpuk lagi semenjak klarifikasi itu. Para Sazmi ternyata melacak rumahku. Sekarang ruangan ini kembali penuh dengan tumpukan berkas-berkas anak kuliahan yang harus di-foto copy atau pun di-print, stok gula dan tepung baru saja datang. Membuat ruangan ini semakin pengap.
Aku mengambil papan kecil bertali di atasnya yang bertuliskan TUTUP. Kupasang di depan pintu rumah agar terlihat jelas. Rencananya, aku hari ini ingin pergi ke rumah orang tua. Rindu pastinya.
***
Setelah menempuh kurang lebih 30 menit menaiki motor dan menembus jalanan yang sejuk nan rindang, aku berhenti di depan rumah bercat orange yang tidak terlalu besar. Di sinilah diri ini dibesarkan, dididik, disayang, dijahili atau pun menjahili. Kulihat semua sudut halaman depan rumah. Masih sama seperti dulu, indah dan menenangkan.
Seseorang paruh baya keluar dengan senyumnya yang menghangatkan. Aku membalas senyumnya, mencoba lebih hangat. Kulepas helm yang berada di kepala, lalu menghampirinya. Umi. Dia Umi ... surgaku dan kehidupanku.
Aku mengucap salam, meraih tangannya dan kucium. Umi membalas dengan senyum yang tak pernah pudar. Tak lupa menjawab salamku dan mempersilahkan diri ini masuk.
"Rumah ini sepi ketika kamu nggak ada, Mi." Umi beringsut membersihkan keadaan rumah. Kotor memang. Mungkin karena Dek Ahmad yang melakukannya.
"Biar aku yang melakukannya. Umi duduk saja." Aku langsung mengambil alih pekerjaan Umi. Umi hanya menerima perlakuanku dan duduk di kursi dengan mata yang mengamati pekerjaanku.
"Azmi, Azmi ... kita semua kangen sama kamu, Nak. Berapa bulan ya kita tidak bertemu?"
"Mungkin dua Minggu, Mi. Oh iya, sudah tahu belum kalau Kak Izul menikah?"
"Oh, Ahkam? Iya. Tapi Umi nggak bisa hadir karena ada urusan. Tapi kamu datang, 'kan?"
Aku telah selesai membersihkan ini semua. Aku pun ikut duduk menghadap Umi.
"Iya, Mi. Malahan, kita semua disuruh tampil seperti dulu. Padahal kan sudah ada Syubban penerus, tapi ya masih ngeyel terus."
"Terus? Kalian mau?"
"Mau nggak mau tetap harus mau. Ya, sekalian ingat-ingat kisah dulu."
"Baguslah kalau begitu. Oh iya, katamu dulu, kamu akan kembali dengan membawa ratu hatimu. Di mana dia?"
Entah kenapa, pikiranku tertuju pada perempuan itu. Dia yang menghantui pikiranku. Tidak suka berbelit-belit, menjaga auratnya, tak menatapku, aku sempat meliriknya dan dia ... manis. Benarkah demikian?
"Belum, Mi." Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Urusan beristri, aku memang sudah cukup umur. Dua tahun yang lalu, aku baru selesai kuliah di jurusan Ekonomi Syari'ah. Sebelumnya, aku sudah empat tahun TK, enam tahun SD, tujuh tahun di podok, dan lima tahun kuliah. Aku memulai pendidikan pada usia tiga tahun. Jadi umurku sekarang adalah 26 tahun. Sudah matang, tapi belum beristri. Miris.
Apa iya, orang setampan diriku tak laku? Bukannya semua menolakku, tapi aku yang menolak mereka. Tapi berbeda dengan perempuan itu, dia malah membuka hati ini. Dia ... unik. Dia yang membuka hatiku untuk merasakan arti cinta.
"Terus, mau sampai kapan kami menunggu?" Umi menghela napas. "Ya sudah, nanti malam kita bicarakan bersama Abahmu. Supaya Abah yang menentukan apa yang terbaik untukmu."
Aku tersenyum tipis. Aku kecewa, kecewa pada diri ini. Umi sama sekali tak bahagia dengan jombloku. Kupikir, jomblo itu happy, ternyata malah sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...