16. Polisi Bisa Santai

61 7 1
                                    

SENYUMAN tipis kukembangkan tatkala menyaksikan amarah yang membeludak begitu saja pada diri Bihar. Siapa juga seorang adik dan seorang suami yang rela kakaknya dan istrinya diperlakukan seperti itu? Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam, dan aku melakukannya, namun dengan cara yang halus.

Aku menatap Bihar yang sudah memelototiku lebih awal. Aku memejamkan mata sejenak. Jangan sampai aku ikut terpancing emosi seperti Bihar. Aku tahu Bihar sangat menyayangi Nasha, dan aku tahu apa yang dirasakan Bihar saat ini.

"Kenapa Mas Azmi cuma diem di sini? Kenapa malah santai ngobrol sama aku? Hah! Apa yang ada di otak seorang Gus Azmi ketika menyaksikan kejadian ini? Apa Anda akan diam saja? Sebagai seorang adik, saya tidak terima kakak saya diperlakukan seperti ini!" Nah, 'kan, benar. Bihar akan meluapkan semua kemarahannya kepadaku.

Aku ikut berdiri. Tangan kananku menepuk pundaknya pelan agar dia sadar, tapi langsung ditepis kasar olehnya. Dan aku hanya bisa tersenyum tipis.

"Tenanglah, Har. Kalau kamu kayak gini, kamu bisa bangunkan kakakmu. Susah payah aku menenangkannya agar tenang, tapi dia malah semakin histeris. Aku takut, ketika dia terbangun, dia akan menangis lagi tanpa henti," aku mencoba memberikan penjelasan kepadanya. Bihar terdiam tanpa menanggapi ucapanku. Tatapannya kosong, dengan tangan mengepal dan rahang yang mengeras.

"Kalau kamu tidak mau duduk, aku tinggal buat kue dulu. Kebetulan bahan bakunya belum sempat aku olah menjadi adonan. Oh iya, kalau butuh apa-apa, ambil aja langsung. Hafal, 'kan, denah lokasi rumah ini?"

Aku tersenyum tipis seraya memejamkan mata. Aku pun merasa sesak ketika memutar ulang video tak sepantasnya itu. Apalagi mendengarkan amarah Bihar yang menurutku membuatku sakit hati. Anggap saja aku lebay dan baper-an, tapi perasaan tak bisa berbohong.

Aku melangkahkan kaki menjauh darinya. Percuma saja aku berbicara panjang lebar, menceramahinya hingga ludahku berbusa, kalau dianya masih marah dan tidak mau mendengarkanku, itu semua akan sia-sia. Ujung-ujungnya, aku juga yang kesal dan malah berujung emosi yang tidak sepantasnya.

Setengah jam berlalu. Aku sudah selesai membuat salah satu jenis adonan kue untuk kujual. Sembari menunggu sampai mengembang, aku mengecek keadaan Nasha di kamar.

Nasha sepertinya sudah mulai membaik. Dia sudah melakukan kegiatan shalat seperti biasa. Walaupun aku melihat air mata terus menetes di kelopak matanya yang indah, namun ia masih mampu menyebut ayat demi ayat, huruf demi huruf, hingga menyelesaikan dua raka'at shalat subuh. Alhamdulillah. Setidaknya ia masih mengingat Allah.

Aku ganti mengecek keadaan Bihar. Ia terlihat menyenderkan kepala seraya menghela napas. Kedua tangannya mengusap kasar wajahnya seraya beristighfar. Aku tersenyum. Mungkin ini saatnya aku menerangkan rencana 'jail'-ku kepadanya.

Aku duduk kembali di salah satu kursi. Ia menatapku. Ia pun kembali duduk seperti biasa sembari memainkan jemarinya. Aku tersenyum senang.

"Gimana keadaanmu, Har?" tanyaku ramah. Tidak mungkin juga aku langsung bercerita panjang lebar.

Bihar menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Sungguh, aku beruntung bisa menemukan seorang adik ipar yang sama sepertiku, sama-sama membingungkan.

"Maaf, Mas. Tadi aku—"

Aku menggeleng kecil. "Nggak apa-apa. Aku ngerti. Aku ngerti perasan kamu ketika melihat video itu. Aku juga marah, tapi nggak tahu mau marah sama siapa."

Nasib seorang Sad Boy, jangan ditiru kengenesannya.

Bihar mengangguk kecil. Ia kembali memperhatikan layar laptopku yang sudah tidak menayangakan video menjengkelkan itu. Tatapannya berganti menerawangku, seperti mengajak berpikir tinggi dan bernalar.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang