KAMI berhenti di sebuah rumah yang luas. Aku menatap Mas Leo seolah bertanya, rumah siapa ini?
Mas Leo langsung masuk ke dalam. Dia membuka paksa setiap pintu kamar. Aku hanya menyaksikan dari belakang.
Semua kamar kosong. Aku menghampiri dapur. Apakah masih kosong?
Aku langsung menutup mata dan mulutku. Aku berlari menuju Mas Leo yang seperti berusaha menelepon seseorang.
"Mas! Istrimu, Mas! Dia ... dia hampir diperkosa seseorang!" Aku berseru panik. "Di ... di dapur!"
"Apa?!" Mas Leo segera memasuki dapur. Aku keluar. Mencoba masuk lewat pintu belakang.
"Dek!" Suara teriakan Mas Leo masih sempat kudengarkan.
Aku mengamati samping rumah ini. Aku mengambil salah satu dari banyaknya kayu yang berserakan. Kayu yang aku ambil berukuran tujuh puluh lima centi dan lebar lima centi.
Aku berjalan mengendap-endap menuju pintu dapur. Aku melihat laki-laki yang hampir melecehkan istri Mas Leo tadi tersungkur di hadapanku. Mas Leo terlihat memeluk istrinya dengan berderai air mata. Aku mengepalkan tangan.
"Dengar! Kau laki-laki kotor!" teriak Mas Leo penuh benci, lalu mengecup kening istrinya dan masuk ke kamarnya. Baiklah, biarkan laki-laki ini menjadi urusanku.
Aku menatapnya datar. Tetapi wajahku memerah, tanganku menahan amarah, kakiku bergetar, semua bergetar.
"Berdirilah!" perintahku tegas.
Dia menyeringai, seraya mencoba berdiri dengan tertatih-tatih. Dia memegangi sudut bibirnya yang terkena tamparan Mas Leo, perutnya seperti kesakitan karena serangan Mas Leo, apalagi kakinya yang sering kali jatuh bangun.
"Apa yang kau lakukan tadi? Bersenang-senang?"
Dia mengabaikan kata-kataku. Dia mengambil napas panjang. Dia seperti melakukan beberapa kegiatan. Tunggu, apa dia akan mengeluarkan tenaga dalamnya?
Tenaga dalam itu sedikit lagi keluar sempurna. Aku membulatkan mata tak percaya. Segera berpikir untuk menggagalkan.
Dulu, aku juga ikut pencak silat. Ketika sudah menjadi warga, aku belajar olah pernapasan atau tenaga dalam. Ya, itu solusinya.
Aku mengambil posisi di belakangnya. Mengangkat kayu yang aku bawa sedari tadi. Aku segera memukulkan kayu itu sekeras-kerasnya terhadap tulang ekornya. Dia langsung tersungkur. Dia berteriak ketika duduk. Alhasil, dia tengkurap.
Seperti biasa, polisi selalu datang terakhir. Sepertinya Mas Leo sudah melaporkan hal ini.
"Terima kasih atas kerja samanya, Gus. Dia merupakan buronan kelas kakap kami. Sudah hampir enam tahun kami mengincar orang ini. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya," kata seorang polisi.
"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih kembali."
"Bisakah Anda ikut kami? Anda akan ditetapkan sebagai saksi. Setelah korban siap, kita akan melihat selengkapnya."
"Baiklah, Pak." Aku mengemasi barang-barangku yang berserakan, lalu berpamitan kepada Mas Leo yang masih berada di dalam kamar.
"Iya, Mi! Terima kasih sekali!"
Aku pun mengikuti langkah mobil polisi di bekangnya.
***
Di Kantor Pengadilan Blitar.
Aku menatap semua yang hadir. Semua menggunakan baju resmi dan formal. Yang laki-laki menggunakan kemeja, jas hitam dan celana hitam laki-laki bersabuk. Sedangkan yang perempuan menggunakan kemeja, jas putih dan rok span putih. Aku menatap diriku sendiri. Lalu aku apa? Menggunakan peci hitam, baju koko putih dan sarung yang secara keseluruhan milik Syubban. Aku juga membawa tas selempang yang merupakan milik Syubban juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...