PERNIKAHAN tinggal dua Minggu lagi. Rumah orang tuaku sudah penuh dengan pernak-pernik pernikahanku dan Nasha. Semua sibuk kepada tugasnya masing-masing. Hampir setiap hari rumah mereka tidak pernah kosong dari suara ketukan pintu.
Aku dan Nasha sedang berjalan kaki menuju Kantor Kelurahan. Di sana, aku mendaftarkan diri untuk menjadi calon pengantin. Banyak yang mengucapkan selamat kepadaku. Aku menjawabnya ramah.
Oh iya, tentang pesanan adiknya Kak Haya tentang udangan pernikahan, semua sudah beres. Bahkan, esoklah hari jadinya dengan jodohnya. Tentu saja aku turut hadir dalam acara tersebut. Kak Haya sendiri sudah hamil dua bulan. Aku menghela napas. Cepat sekali ya, waktu berjalan.
"Besok katanya kamu mau undangan pernikahan, ya?" tanya Nasha, entah sekedar basa-basi untuk menghilangkan kecanggungan kami atau sungguh bertanya.
"Iya. Rencana undangannya udah dari dua bulan yang lalu, tapi baru diurus beberapa Minggu terakhir ini," jawabku.
Kami memang sedang menikmati seporsi mangkok bakso. Dek Naufal-ya, dia ikut untuk menghindari fitnah-duduk di sampingku dengan ponsel, seporsi bakso, krupuk, dan lontong di hadapannya. Dia sama sekali tidak peduli dengan lingkungan hidupnya, habitatnya.
"Oh ... begitu." Nasha manggut-manggut sebagai jawaban.
"Kenapa? Mau ikut?" tawarku seraya terkekeh.
"Eh! Tidak. Aku ada beberapa urusan juga."
"Oh, masih kuliah, 'kan? Makanya sibuk banget," ujarku seraya tersenyum lebar.
"Iya. Sebentar lagi lulus, kok."
"Cita-citamu mau jadi apa?" tanyaku kepo.
"Aku pengin jadi ibu rumah tangga aja. Kalau ada peluang, buka usaha kecil-kecilan di rumah. Kalau anak aku udah besar, pengin jadi guru TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an)."
"Wah, banyak juga, ya. Tapi tolong ganti kata 'anak aku' menjadi 'anak kita'. Aku nggak suka, ya," ujarku seraya menyeruput es jeyuk.
Nasha menggeleng-gelengkan kepala seraya terkekeh. Dek Naufal berdehem-dehem kesal, lantas memainkan ponselnya dan mengabaikan kita berdua.
"Iya. Calon anak kita," ujar Nasha meluruskan dengan senyuman malunya.
Aku mengulum senyum puas. Aku menatap Dek Naufal yang lebih serius dengan ponselnya.
"Ngelihatin apa, sih? Kayaknya seru banget," tegurku. Namun, dia hanya berdehem sebagai jawaban.
"Jangan bilang ngelihatin artis cantik yang sering nongol di TV?" curigaku. Sebenarnya aku hanya menggodanya, bukan berniat serius.
"Nggak lucu," tukasnya. Aku mengangkat sebelah alis tak heran. Dia memang seperti ini. Meresahkan.
"Kalian yang meresahkan. Masa ngomongin anak di depan aku?" kesalnya. Aku menahan tawaku, sedangkan Nasha menahan pipinya yang memerah.
"Ya emang kenapa? Iri bilang, Bos!" seruku terkekeh.
Dek Naufal tidak mengindahkan ucapanku. Dia kembali menghabiskan baksonya dengan menghiraukanku dan Nasha.
"Sudah-sudah. Kalian ini lucu!" ujar Nasha seraya menutupi hidung dan mulutnya dengan telapak tangan.
***
Dek Naufal menghampiriku dengan setelan lengkap. Aku menggunakan helm motor dan bersiap untuk menghadiri pernikahan Hifsa, adik Kak Haya.
Tiba-tiba, datanglah kedua adikku. Dek Rara dengan cantiknya dan Dek Ahmad dengan gayanya, menghampiri kami berdua. Aku berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...