10. Kebahagiaan Gula Jawa

58 5 0
                                    

HARI ini adalah hari yang entah ke berapa aku ditinggal menikah. Banyak orang yang menanyakan kapan, kapan, dan kapan aku menyusul. Rasanya, ingin ditelan bumi saja kalau sudah bertemu dengan pertanyaan seperti itu. Menyebalkan dan meresahkan, Kawan!

Ya, hari ini aku akan menghadiri pernikahan Mas Aban. Katanya, nanti Syubban juga diundang. Tapi, nggak heran lagi, sih. Mas Aban saja sudah lama sekali bergabung dengan Syubban. Dengan Syubban pula, Mas Aban menjadi dikenal banyak orang.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana nasib para Syubban Lovers, terutama Sahabat Nursya. Apakah mereka rela? Apakah mereka tahu tentang ini? Apakah mereka tidak akan menaruh dendam kepada siapa pun?

Huh! Aku yang hanya sahabat Mas Aban saja pusing memikirkannya, apalagi Mas Aban yang menjalankannya. Terlebih lagi persiapan Kak Nay untuk menjadi istri yang tabah dan menerima keadaan suami apa adanya. Pasti akan banyak ujian yang ditempuh, tapi do'aku yang terbaik selalu menyertai mereka.

Aku segera merampungkan aksiku mengguyur seluruh tubuhku dengan air yang segar. Terlalu banyak dugaan dan pikiran, membuatku lama mandi.

Aku keluar dari kamar mandi dengan kaos putih lengan panjang oblong. Dingin, sih, tapi sebentar lagi aku akan ganti baju setelah shalat tahajjud.

Aku melihat jam dinding yang terus berputar di kamarku, menunjukkan pukul 03.00. Aku segera berganti baju, tak lupa aku memberikan sebuah papan kecil yang bertuliskan: Hari ini libur, besok baru buka.

Aku memang sudah menyiapkan papan itu dari kemarin malam seraya memutar ulang kejadian kemarin siang yang sangat indah. Ketika Zaila salah paham, dan berakhir warna kemerahan di kedua pipinya. Malunya sangat manis. Ah ... jodoh orang. Cantiknya tiada banding, ya.

Aku menyambar jaketku yang berada di ruang tamu. Hawa dingin yang menusuk-nusuk, mungkin akan membuat angin masuk di tubuhku, eh masuk angin.

Setelah semua siap, aku juga sudah mengantongi peci, ponsel, beberapa uang—tidak banyak, hanya untuk persediaan—, dan kunci rumah di dalam tas selempang kebanggan dari Syubbanul Muslimin. Oh iya, aku juga membawa kacamata agar terlihat keren.

Aku pun menyambar masker, sarung tangan, kaus kaki, dan helm. Sungguh, aku seperti agen rahasia, tapi aku pakai sarung. Aku tertawa melihat tampilanku. Keren, tapi nyeleneh. Tapi tidak apalah, yang penting tetap ganteng. Iya, nggak? Kan aku Gapleh, Gaul tapi Sholeh.

Aku segera melajukan motorku untuk menempuh perjalan panjang, Blitar-Probolinggo.

***

Entah sudah berapa jam aku berkendara untuk sampai di Probolinggo, tapi aku melihat masjid dekat rumah Mas Aban sudah mulai ramai. Aku segera melepas helmku dan menggantinya dengan peci.

"Akhirnya kamu datang, Mi," ujar Kak Izul. Aku sedikit terkejut dengan keberadaannya yang tiba-tiba di depanku. Tapi ini hal wajar, karena dia juga sahabat Mas Aban, bahkan sangat dekat sepertiku.

"Eh, iya, Kak. Apa aku telat ya, Kak?" tanyaku sedikit tak enak. Aku pun mengajaknya berjabat tangan, dan Kak Izul membalas dengan ramah.

"Enggak, deh. Aku baru aja mau ambil wudhu terus adzan," ucap Kak Izul yang memang itu yang terlihat. Lengan baju Kak Izul dilipat hingga atas siku, sehingga menunjukkan otot-otot lengan hasil nge-gym-nya dari beberapa tahun yang lalu hingga sekarang.

"Oh, gitu. Ya udah, aku lepas jaketku dulu terus barengan wudhunya," usulku.

"Siap, deh, kalau gitu."

Aku pun melepas jaketku dan berjalan ke tempat wudhu beriringan dengan Kak Izul. Tak terasa, baru kemarin aku bertemu dengannya, dan sekarang sudah bisa bertemu lagi.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang