6. Murid dan Jodoh

58 7 0
                                    

PAGI ini aku sangat giat mengejar deadline. Subuh tadi, pesananku sudah sampai dan sudah kubayar, cash! Subuh tadi aku juga sudah selesai mencuci baju kotorku.

Aku melirik jam dinding yang terus berputar. Menunjukkan jam setengah enam pagi. Sebaiknya aku segera menyelesaikan fotocopy-an yang tersisa seraya mesin oven bekerja.

Berkali-kali aku bolak-balik dari ruang paling depan di rumahku yang berfungsi sebagai tempatku mem-fotocopy ke dapur, berkali-kali pula aku secara bergantian mengganti adonan kue yang sudah siap. Pagi-pagi yang melelahkan.

Aku dulu hampir menyerah dan memilih mengerjakan karyawan saja, tapi aku juga ingat kalau keringat karyawan tidaklah murah. Lagipula, aku masih sehat dan segar, aku juga masih mampu melakukan ini semua. Kalau ada kesalahan, hanya aku yang menanggung, tak ada yang ikut pusing nantinya.

Lagi, aku melirik jam dinding yang tertera. Jam enam kurang lima belas menit. Cepat sekali waktu berjalan. Aku bahkan belum menata untuk penyambutan keluarga besarku nanti.

Kalau kata Abah enam orang, pastinya keluarga besarku juga ada. Setidaknya, itu yang kupikirkan semalaman.

Aku mengecek kurang berapa yang belum aku fotocopy, masih tiga pack kertas skripsian anak kuliah. Baiklah, setidaknya nanti jam tujuh aku usahakan sudah selesai.

Setelah sekitar dua jam aku berkutik dengan mesin fotocopy-an, semua sudah selesai tanpa ada yang tersisa. Tinggal menunggu dua menit lagi adonan roti yang terakhir matang dengan sempurna.

Sembari menunggu, aku menaik-naikkan kardus roti yang akan kuantarkan ke rumah pelanggan ke atas motorku. Untuk yang diambil sendiri, aku sudah mengabari semuanya agar segera mengambil.

Mesin ovenku tiba-tiba berhenti, menandakan roti sudah matang dengan sempurna. Aku segera mengambil kardus yang tepat dan segera mem-packing sebagus mungkin.

Bel di rumahku berbunyi. Aku langsung meneriaki agar masuk langsung. Benar saja, dia juga membeli kue buatanku. Seperti biasa, mereka meminta foto denganku, tapi aku tolak. Bukannya sombong, tapi mereka bukan muhrimku dan aku takut dosa.

Dia hanya mengangguk pelan, wajahnya sedikit kecewa namun dipaksakan tersenyum. Aku mengangkat sebelah alisku.

"Jangan bosen pesan di sini ya, Mbak." Aku mencoba tersenyum manis, berharap dia tidak menyesal dengan keputusanku.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, si Mbaknya langsung tersenyum sumringah. Seger, buger, waras, lillāhi ta'āla. Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. Berharap dia masih seperti pikiranku, waras.

"Tentu saja tidak akan bosan. Saya paham apa alasannya, kok." Dia tersenyum semanis mungkin. Mungkin, tersenyum genit lebih tepatkah?

"Ini, Gus, uangnya." Dia menyerahkan nominal uang yang harus dibayar dengan nominal yang pas.

"Oke, pas ya, Mbak. Oh iya, kalau bisa jangan panggil saya 'Gus', karena saya hanya penjual roti dan tukang fotocopy, bukan seorang Gus."

"Tapi kan kalau di Syubban suka dipanggil Gus Azmi. Saya juga sudah terbiasa."

"Kalau saya lagi perform, boleh panggil saya Gus Azmi. Kalau di sini panggil saja saya Azmi. Sekalian, tolong dibilangin sama sesama Sazmi."

"Siap, Gus!"

Aku menghela napas. Baru saja dibilangin, sekarang sudah berulah, melakukan kesalahan yang sama.

Perempuan itu pun keluar sembari mengucap salam. Aku menjawab salamnya tanpa mengantarkan dia ke depan.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang