13. Masih Belajar

78 7 0
                                    

ISTRIKU keluar kamar mandi dengan piyama panjang bernuansa Islami. Piyama itu bercorak bunga yang banyak, namun tidak norak. Ia juga menggunakan khimar (jilbab panjang dan lebar) berwarna pink muda. Bahu kirinya terdapat handuk biru muda dengan gambar kartun Doraemon. Sepertinya, dia suka kartun Doraemon, ya?

Aku terkikik melihat khimar yang ia kenakan. Antara bingung dan lucu, aku memandangnya tetap di tempat semula seraya terkikik. Ia sepertinya menyadari keberadaanku yang tengah menertawakannya. Ia pun mengerutkan kening, bingung.

"Kenapa?" tanyanya keheranan. Tangan kanannya meraih gantungan baju di lemari untuk menjereng handuknya di balkon kamar.

Aku berdiri, lalu menyusul Nasha yang tengah memandang awan hitam di langit. Diam-diam, aku memeluk pinggang rampingnya dari belakang. Nasha diam tidak berkutik. Tidak membalas ataupun menolak. Namun, detak jantungnya dapat kurasakan berdetak lebih cepat di atas normal. Aku semakin mempererat pelukanku.

Nyaman. Itulah yang aku rasakan ketika memeluknya dari belakang. Rasa hangat menjalar dari tubuhku ke tubuh istriku. Memberikan sebuah isyarat betapa besar cintaku untuknya, bahkan melebihi cintaku kepada diriku sendiri.

Aku menempatkan wajahku di bahu mungilnya. Untuk melakukannya, aku harus sedikit merendahkan diriku. Karena tubuh Nasha lebih pendek dariku, bahkan hanya sebahuku. Sangat bagus jika benar-benar sebahuku, tapi yang benar hanya selenganku.

Ia tetap diam, tidak berkutik sama sekali. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Saking dekatnya, aku bisa merasakan wajahnya yang memanas seperti kepiting rebus. Senyuman kecil terlukis di bibirku. Ternyata menggodanya begitu mudah, tapi juga tidak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya.

Perlahan, ada sebuah tangan menggenggam erat tanganku yang sibuk memeluk istriku. Aku melirik ke bawah, ternyata aku mendapat balasan. Nasha membalasnya!

Entah seperti apa kesenanganku dan kebahagiaanku saat ini. Hatiku seperti ditaburi bunga bermekaran yang segar. Ditambah lagi dengan simbol hati, love, yang memperindah hatiku ini.

Sekarang, Nasha mempererat genggaman tangannya kepadaku. Seolah tidak mau lepas dan kehilangan diriku yang notabenya sebagai suaminya. Hal itu membuatku seolah melayang.

"A-ada apa, Gus?" tanyanya dengan suara terpatah-patah. Aku menggeleng pelan, lalu menunduk, menciumi bahunya yang tertutup khimar pink tersebut.

Setelah puas menciumi bahunya, aku pun beralih menatapnya dari depan. Semakin jelas rona merah di pipinya. Membuatku semakin gemas ingin mencubit kedua pipi gembul tersebut.

Aku menatap kedua alisnya yang indah. Dia memang menunduk begitu melihatku berada di hadapannya. Menjadikanku tersiksa karena tidak bisa melihat kedua pipi gembulnya yang memerah dan bulu matanya yang lentik itu, ditambah dengan mata hitam legamnya yang teduh, membuat siapa pun menjadi jatuh cinta dengannya. Tapi, yang boleh mencintainya hanyalah aku seorang, tidak boleh yang lain!

Aku memegangi kedua buah pipi gembulnya dan mengangkatnya supaya ia bisa melihatku, begitupun sebaliknya.

Kini, tampaklah semua yang aku angan-angankan tadi. Bulu mata lentik, bola mata yang hitam legam, tatapan matanya yang teduh, pipi gembulnya, wajah putihnya yang mulus nyaris tanpa cacat. Aku tersenyum lebar. Tanganku masih memegangi kedua pipi gembulnya. Gemas sekali. Ditambah lagi dengan wajahnya yang menghangat, membuat tanganku pun merasakan hangatnya wajahnya.

Aku pun melepas kedua tanganku, lalu beralih mendekatkan wajahku ke wajahnya. Perlahan tapi pasti, aku menempelkan wajahku hingga tiada jarak sama sekali. Napas kami beradu. Jantungku pun merasakan debaran yang sangat kencang, seperti yang dirasakannya tadi.

"G-Gus ...?" Nasha berkata dengan sisa tenaganya, seolah ia sedang tercekik sesuatu.

"Hm?" Aku tersenyum kecil, dan mataku tetap memandang kedua mata hitamnya yang indah. Alis kananku terangkat sedikit untuk menjawab ucapannya.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang