22. Masa Lalunya

53 4 2
                                    

8 tahun yang lalu.

Nasha berumur 15 tahun sedang menangis di pojokan kamar. Kemarahan sahabatnya yang merupakan korban pemerkosaan pacarnya selalu menghantui pikiran dan hatinya. Ia tak habis pikir dengan perlakuan pacarnya yang tak hanya berkhianat tapi juga menjijikkan. Caci-makian terus berdatangan melalui media sosial, tetangga, chat pribadi, bahkan keluarga. Jika ditilik lebih dekat, ia semakin mengenaskan.

Aku pikir jadi pacar Tino itu menyenangkan. Aku bakal diperlakuin layak dan lebih dihormati. Tapi nyatanya, aku harus merasakan sakit ini. Kenapa, ya Allah? Kenapa harus aku? Nasha terus membatin tak menyangka. Setiap ujung kalimat diwarnai suara isak tangis darinya. Semua terjadi begitu cepat, hingga dampaknya membekas di relung hati. Sangat menyakitkan.

Tiba-tiba ketukan pintu menggema. Nasha bangkit dengan malas lalu membukanya. Tampak adiknya dengan wajah kusut dan khawatir mencoba tersenyum walau miris hasilnya.

“Hai! Selamat pagi! Ayo sekolah!” seru Adiknya menyemangati.

Nasha memandang malas pada Bihar yang nyengir tapi miris. Ia pun berniat kembali menutup pintu lantaran tak semangat berangkat sekolah, apalagi bertemu warga sekolah yang julid-nya minta ampun. Namun Bihar tak tinggal diam. Ia menarik kembali pintu itu membuat Nasha mendengus gemas.

“Ayolah, Kak .... Kita harus sekolah, biar pinter,” bujuk Bihar sambil memasang wajah melas dan bibirnya turun ke bawah. Bihar memang siswa yang cukup pintar, tapi sifat bandel-nya seakan menutup rapat seluruh kejeniusannya. Ditambah dengan penampilan selalu berantakan, lengkap sudah penyamaran yang ia lakukan selama ini.

“Biar bisa ngutang juga, ‘kan?” sinis Nasha malas.

“Kok gitu, sih?” Bihar mengerutkan kening. “Ya enggaklah,” tepisnya.

“Kan kalau sekolah Kakak bisa jadi pacar Tino buat bayar utang kamu,” dengus Nasha kembali.

Bihar terdiam. Mencoba mencerna kalimat kakaknya. Ia dan kakaknya memang lebih pintar dirinya, tapi masalah membolak-balikkan omongan, itu keahlian kakaknya. Ia seorang lelaki yang cerewet, dan Nasha pendiam tingkat akut.

“Aku udah nabung buat bayar utang, jadi hari ini lunas. Kakak nggak perlu repot-repot jadi pacar dia lagi. Tapi syaratnya, Kakak harus sekolah atau aku lapor Ayah?” ancam Bihar, tetap gelagat santai.

“Dasar pengadu!” dengus Nasha.

“Ya terserah Kakak. Kakak sekolah terus putus dari dia atau di rumah tapi aku aduin ke Ayah?” Bihar kembali mengancam hal yang sama.

Nasha kembali mendengus. “Iya, iya! Aku sekolah. Aku mau cuci muka aja. Jangan ditinggal!” peringat Nasha, mulai melangkah keluar.

Bihar segera mencegah sambil menarik baju lengan Nasha. Nasha memutar badan kesal.

Eits, jangan begitu, dong! Mandi ya? Bau. Lihat tuh, matamu kayak mata panda,” sergah Bihar sambil menunjuk kedua mata Nasha. Nasha menepis tangan Bihar meraba-raba sekitar matanya sendiri. Bihar tertawa menyaksikan kepolosan Kakaknya yang sangat imut baginya. Tebersit olehnya, kalau kakaknya adalah adiknya berwujud 15 tahun. Karena tinggi mereka sama.

“Udah-udah! Jangan digituin! Sana, mandi!” usir Bihar, tak kuasa menahan tawa.

“Hm,” gumam Nasha datar. Ia hendak melangkah lagi, tapi lagi dan lagi dicegah Bihar. Ia hanya mengeram, mengontrol emosi yang meledak-ledak.

“Ingat ya, selama Ayah nggak ada, yang jaga rumah sama Ayah itu aku. Jadi Kakak harus ikut peraturanku!” omel Bihar lagi, seperti berhadapan dengan anaknya yang bandel.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang