TEPAT pada pukul 08.00 nanti, Mas Aban melamar seseorang. Katanya, nanti yang bilang Kak Izul. Mas Aban mengundang seluruh keluarga besar Syubbanul Muslimin, dari generasi dulu dan sekarang.
Aku bertemu Gus Najmi di halaman depan rumah Mas Aban. Aku berjabat tangan seraya mengucap salam. Seperti biasa, Gus Najmi menjawab salamku.
"Gimana kabarnya, Gus?" tanyaku ramah.
"Baik. Kamu sendiri gimana, Gus Azmi?"
Aku terkekeh. "Baik, Gus."
Gus Najmi merupakan salah satu putra dari Buyah Hafidz. Gus Najmi juga salah satu vokalis di Syubbanul Muslimin saat ini. Gus Najmi sekarang sedikit berisi seperti Buyah, padahal dulu sepertiku, kurus tanpa isi.
Kami pun berjalan ke dalam rumah Mas Aban guna bersiap menuju calon istri Mas Aban. Banyak sekali topik yang kami katakan. Gus Najmi masih sama seperti dulu, asik dan kocak kepada siapa pun.
Setelah aku bersalaman kepada semua orang yang ada di rumah Mas Aban, semua langsung menatapku sumringah. Aku mengernyit heran.
"Kenapa?"
"Kamu nanti ikut nabuh." Kak Izul berucap sepihak, padahal aku tidak menjawab apa pun. Aku mengacungkan jempol lalu membantu membawa barang-barang yang akan dibawa.
"Nanti yang bilang ke pihak keluarga calon itu Kak Izul, 'kan?" Kak Izul juga ikut membantu menaikkan barang-barang yang akan dibawa.
"Iya. Kenapa? Kamu mau?" tawarnya seraya terkikik dengan tangan yang terus menaikkan barang-barang ke bagasi mobil Syubbanul Muslimin.
"Enggak, lah! Kak Izul aja. Kan Kak Izul sudah berpengalaman." Kak Izul menatapku datar. Aku langsung sadar dengan ucapanku. "Oh iya, Kak izul kan tidak melamar."
"Kamu sendiri jangan lupa, nanti kamu yang nabuh, bukan jadi vokalis."
"Siap, Komandan!"
"Yang jadi vokalis Syubban sekarang. Kamu buktikan kalau kita tidak kalah bersaing dengan mereka. Tenaga kita tak kalah kuat dari mereka yang masih muda."
"Memangnya kita sudah tua, ya?" tanyaku bingung. Aku menutup pintu bagasi serapat-rapatnya.
"Iya. Makanya, kamu segeralah cari istri."
Aku mendengus kesal. Lagi dan lagi, istri sumber permasalahanku. Memangnya mudah menikah? Kak Izul saja menikah di umur tiga puluhan. Aku yang masih dua puluh enam, kenapa jadi masalah?
Setelah semua siap, kami pun berangkat menuju tujuan. Para Syubban edisi terbaru di mobil Syubban. Sedangkan Kak Izul dengan istrinya naik motor. Ada dua mobil yang mengangkut Syubban seangkatanku. Aku memilih naik motor bersama Gus Najmi.
"Gus, kenapa tidak ikut teman-temanmu?" tanyaku di perjalanan.
"Tidak apa-apa, Gus. Aku hanya takut kalau ada yang salah paham nantinya."
"Maksudnya gimana, Gus?"
"Gus, kalau ngomong jangan pakai Gus, ya? Nanti kalau sudah bersama yang lain baru pakai Gus."
Aku tersenyum simpul. "Baiklah. Maksudnya salah paham itu apa, Mi?"
"Ya kan Abah di sana, Mas. Jadi ya aku takut aja kalau dikira pilih kasih gitu. Aku kan juga risih kalau digituin, Mas."
"Oh, begitu ya, Mi?"
Tidak ada percakapan kembali. Aku melajukan motorku dengan kecepatan normal. Menerjang jalanan yang tiada ujungnya. Mas Aban menaiki mobil sendiri bersama keluarganya di barisan paling depan. Samping motorku ada motor Kak Izul. Sempat melirik sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan. Kapan aku nyusul?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...