18. Tidak Paham

54 4 3
                                    

SETELAH pulang dari Kantor Polisi dan Destino resmi menjadi tersangka, aku dan Bihar pun pulang ke rumahku. Kami akhirnya dapat bernapas lega setelah berjuang menjebloskan Destino ke dalam jeruji besi.

"Mas, aku langsung berangkat ke luar kota, ya? Aku pamit." Bihar tiba-tiba bersuara. Ia mengambil kembali motornya dan menaikinya. Aku menghampirinya untuk mengucapkan pesan agar ia hati-hati di jalan.

Bihar ke luar kota karena dia ingin melanjutkan pendidikannya ke S2. Aku menyarankan salah satu universitas di Ponorogo dan Kediri, dia memilih di Ponorogo.

Dia menyebutkan, jam keberangkatan dari stasiun hingga stasiun di Madiun sekitar pukul 09.00 Waktu Indonesia Barat nanti. Kemudian dijemput temannya sampai di Ponorogo. Nah, temannya ini yang jadi alasan kenapa ia pilih Ponorogo padahal Kediri jauh lebih dekat.

Aku kembali masuk ke dalam. Aku membersihkan ruangan dekat kamar mandi akibat keributan tadi. Tidak banyak, tapi cukup mengganggu.

Setengah jam kemudian, masjid terdekat mengumandangkan adzan. Aku merasa ada yang kurang di siang hari ini. Aku merasa tidak ada yang meneriaki namaku agar aku segera wudhu dan berangkat ke masjid. Aku merasa tidak ada yang mengomeliku karena belum juga selesai di kamar mandi, takut terlambat. Aku juga merasa tidak ada yang mengantre wudhu di belakangku atau terkadang kami sampai berebutan. Siang hari ini menurutku sangat kosong dan hampa.

Aku segera mengambil air wudhu cepat agar bisa mengecek apa yang hilang dari rumah ini.

Setelah berwudhu, aku melihat seluruh rumah, seluruh ruangannya. Sangat kosong dan hampa. Sesaat kemudian, aku mengingat seseorang yang sangat berarti bagi hidupku. Bagaimana aku bisa melupakannya? Nasha di mana?

Aku menepuk kening. Aku segera berlari ke masjid karena sudah iqamah.

Sesampainya di masjid, aku sendiri yang akan menjadi imam dan segera berlari mencari Nasha. Di shaf putri, tidak ada sosok Nasha. Aku menghela napas dan segera memulai dengan takbiratul ikram.

***

Sesuai dengan rencana, aku langsung berganti baju menjadi kaus pendek hitam dan sarung hitam. Aku pun membawa topi serta jaket. Aku segera menggunakan jaket itu dan helm, lalu segera pergi dari rumah untuk mencari Nasha.

Nasha, maafkan aku yang sudah melupakanmu.

***

Tujuan utamaku adalah rumah mertuaku karena memang rumah ini rumah terdekat orang tuaku. Jika aku harus pergi ke rumah Abah dan Ummi, bisa memakan waktu setengah jam.

Aku menuruni motor sambil mengatur napas yang tidak beraturan. Sungguh, aku merasa ada sebuah ikatan yang menarikku menuju tempat ini. Bahkan aku merasa sedang bertelepati dengan Nasha. Ikatan apa ini?

Aku mengganti helm dengan topi hitam agar lebih gaul. Aku juga melepas jaketku dan menyisakan topi putih, kaus pendek hitam, dan sarung hitam yang aku gunakan untuk shalat tadi. Tidak kalah gaul dan keren dari anak millenial.

Lagi, aku menghembuskan seluruh napas yang ada dalam diriku, lalu kembali mengisinya dan membuangnya. Aku harus tenang. Aku harus bisa mendapat informasi dari mertuaku. Semoga saja mertuaku mendapat informasi itu.

Aku kembali membenahi sarungku sebelum melangkah mendekat ke pintu rumah yang luas ini.

Ragu-ragu aku mengetuk pintu, tapi tidak ada pilihan lain selain bertanya pada Ayah Robi. Ayah, semoga Ayah tidak marah, ya. Aku hanya bisa berharap sebelum semua terjadi.

Setelah aku mengetuk pintu, tidak ada orang yang muncul sama sekali. Aku berkacak pinggang. Apa yang salah dengan ketukan pintuku? Apa terlalu pelan atau terlalu keras?

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang