SUASANA malam yang sejuk, ditambah dengan suara dentuman ombak silih berganti, membuat rasa penat akibat manggung bersama Syubban melayang seketika.
Setelah ikut Syubban manggung, aku dan Nasha masih menginap di hotel yang sama dengan hotel yang digunakan Syubban bermalam. Masih di kamar yang sama. Kamar lantai dua, berhadapan langsung dengan sebuah bukit kecil di pinggir pantai.
Aku menyiapkan tempat di balkon untuk kami berdua. Balkon yang cukup luas dan hanya ada kami. Dua kursi berada di antara satu meja. Kursi yang saling berhadapan, dan kami yang menempati.
Kursi ini terbuat dari rotan, begitu pula mejanya. Setiap kali diduduki, maka terdengar suara decitan sedikit. Itulah yang mengundang tawa di antara kami.
Aku mengambil sebuah kantong plastik di bawah meja. Nasha memperhatikan baik-baik dengan wajah keheranan.
"Pengen tau, ya?" tanyaku menggoda. Nasha seketika memalingkan wajah.
Aku sengaja tidak segera membuka dan mengeluarkan apa saja isinya, untuk memancing Nasha agar tetap penasaran. Berkali-kali aku berlagak melihat isinya tanpa mengeluarkan, membuat Nasha berkali-kali menoleh tapi selalu aku tepergok.
Aku tertawa. "Kalau mau tau jangan gengsi begitu."
Nasha tetap membuang muka dengan wajah santai. Aku geleng-geleng. Kemudian mengeluarkan semua isinya agar Nasha berhenti membuang muka.
Dan benar saja, Nasha seketika menoleh.
Terdapat satu kotak lilin, korek api gas, dan sebuah novel. Novel itu merupakan novel perdanaku, karena setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya naskahku ada yang terbit juga.
Nasha meraih novel itu dan membacanya. "Ini novel siapa?"
Aku meraih lilin dan korek api gas, lalu menyalakan lilin tersebut dan meletakkan di lampu minyak yang kebetulan ada di samping kursiku.
"Kamu mau? Ambil aja," jawabku seraya meletakkan lampu minyak di tengah meja.
"Wah, boleh, kah? Terima kasih!" Nasha langsung memeluk novel itu. Aku mengulum senyum.
Di sekitar kami tidak ada penerangan. Sebenarnya ada, tapi aku padamkan supaya rencanaku tidak gagal. Lagipula, lampu minyak bisa menghangatkan tubuh selama berhadapan dengan pantai.
"Aku nggak dipeluk?" tanyaku dengan nada ngambek.
Nasha menggeleng tegas. "Nggak mau!" Ia pun kembali memeluk novel itu.
"Novel itu novel perdana aku. Aku udah nunggu bertahun-tahun buat mikir gimana plot, alur, tema, dan semuanya sampai menjadi naskah. Karena aku trauma dengan pengalaman dulu yang setiap naskah aku ditolak sama penerbit. Alhasil, jadi bungkus tempe di warung sebelah."
Nasha mengangguk paham. "Thank You, Es Jeyuk?" Nasha membaca judul novel itu heran.
Aku mengangguk. "Seperti kisah kita, bukan? Bertemu dari es jeyuk, sampai mau punya anak. Aku harus berterima kasih dengan es jeyuk milik Rozin untuk cintaku padamu."
Nasha tersenyum mendengarku.
"Aku paham, tidak semua ide yang baik harus anti-maenstream. Nyatanya, kisah non-fiksi pun bisa jadi novel bahkan diterbitkan."
Nasha membuka halaman pertama. Matanya terbelalak dengan jelas. "Semua mirip seperti kisah kita. Tapi namaku menjadi Ilya dan kamu Aska."
"Apa kesan pertama kamu ketika pertama kali bertemu aku?" tanyaku setelah ia menutup novel itu.
"Kamu itu baik, ceroboh, humoris, dan cuek sejagat raya!" curhat Nasha. "Kamu juga tampan dan mudah bergaul walaupun harus teman kamu yang mengajak kamu bergaul."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...