7. Minta Restu

60 5 0
                                    

AKU sedari tadi bolak-balik dari kursi satu ke kursi lain seraya memandangi sebuah nomor telepon. Pemilik nomor ini adalah Nasha.

Ya, semenjak kejadian tadi malam, kami diberi nomor telepon satu sama lain. Mereka meminta kami agar lebih mengenali satu sama lain dan tak kaget ketika sudah menikah. Aku sebagai laki-laki yang gantle man, aku ingin memulai semuanya. Tapi dari mana?

Aku keluar, udara dingin menyambut dengan hangat. Entah bagaimana bisa terjadi, hawa dingin menghangatkan tubuh seseorang, dan oranya adalah aku? Aku merasa memiliki ide untuk naskahku yang kesepuluh nanti.

Aku membuat sebuah postingan di Instagram. Aku menggeleng-gelengkan kepala heran. Masa baru satu menit sudah sebanyak itu?

"Baru satu menit yang lalu, masa langsung lima ratus like? Kak Izul tahu aja, nih. Emang, deh, si ember bocor." Aku menggeleng-gelengkan kepala, kembali menatap nomor telepon yang sama sekali belum kulupakan.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti di halaman rumah. Aku segera menyembunyikan ponselku di dalam saku sweater-ku. Ternyata orang itu adalah Bihar.

Dia mengucapkan salam padaku, aku pun membalas salamnya dan mempersilahkan duduk.

"Di sini atau di dalam? Di sini dingin, loh!" tawarku.

"Di sini saja, Mas. Oh iya, tadi aku melihat Mas Azmi bolak-balik posisi duduk sambil mantengin teleponnya. Memangnya ada apa, Mas?"

"Bukan apa-apa."

Kami pun mulai membahas beberapa materi yang tersedia. Beberapa masih kuingat, beberapa aku sudah lupa. Ketika ada tugas, aku meminta Bihar mengerjakan sendiri, bukan aku yang mengerjakan.

"Kamu punya adik, Har?" tanyaku seraya kembali memandangi nomor telepon itu lagi.

"Tidak, Mas. Tapi aku punya satu kakak."

"Oh, anak bungsu, ya?"

"Iya."

Bihar seperti memperhatikan gerak-gerikku lagi. Dia duduk di sampingku, lalu seperti mengerutkan keningnya. Aku menatapnya bingung.

"Kenapa, Har? Kamu tahu tentang nomor ini?"

Bukannya menjawab, Bihar justru mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Sesaat kemudian, dia menyandingkan ponselku dengan ponselnya. Sebentar, kok sama?

"Ini kok sama ya, Har?" tanyaku keheranan. Bihar mengedikkan bahunya. Aku menggaruk rambutku yang tak gatal.

"Makanya, Mas, aku juga bingung. Bagaimana bisa nomor kakakku bisa di teleponnya Mas Azmi?"

"Kakak kamu?"

"Iya. Ini nomor kakakku. Biasanya kakakku tidak semudah itu membagikan nomor ponselnya, terlebih lagi kepada laki-laki."

"Tapi ini nomor calon istri saya."

"Apa? Kok, bisa?" Aku dan Bihar larut dalam pikiran masing-masing. Bingung bagaimana bisa terjadi. Memang ya, dunia itu sempit.

Tunggu! Atau jangan-jangan? Aku dan Bihar saling tatap.

"Jangan-jangan, calon istri saya adalah kakak kamu!"

"Dan orang yang dijodohkan dengan kakak saya adalah Mas Azmi!"

Aku dan Bihar tertawa. Konyol sekali. Kita berteriak di depan rumahku. Malam-malam pula.

Aku dan Bihar saling menyenderkan punggung. Kenyataan tidak seburuk apa yang aku pikirkan.

"Sayang sekali aku tadi tidak bisa menyaksikan langsung bagaimana proses kalian dijodohkan. Kalau saja sedang jamkos, aku akan pulang untuk melihat bagaimana prosesnya, Mas."

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang