9. Kepercayaan

49 7 0
                                    

AKU melihat sebuah masjid yang berada di ujung jalan. Aku memutuskan untuk pergi ke sana. Aku juga sudah menggunakan masker dan kacamataku. Semoga saja, tidak ada yang mengenaliku.

Aku menghampiri salah satu kakek-kakek yang sedang menyapu halaman masjid. Aku merasa heran, dari sekian banyaknya pemuda di daerah ini, kenapa malah kakek-kakek ini?

"Assalāmu'alaikum, Kek." Aku sudah berada di dekat beliau.

Kakek itu menoleh kepadaku. Aku mengulum senyum ketika melihat kakek itu sedikit mendongak untuk melihatku. Wajah keriputnya menandakan suatu kelelahan yang berarti.

"Wa'alaikumsalām. Siapa, ya?" tanyanya berat.

"Maaf sebelumnya, Kek. Kalau boleh tahu, apa masjid ini sudah mengumandangkan adzan?" tanyaku sopan.

"Belum, Le. Kenapa? Mau adzan ya, Le?"

Kalau di Jawa, kata 'Nak' dibagi menjadi dua, yaitu 'Thole' dan 'Genduk'. Thole biasanya untuk laki-laki dan Genduk untuk perempuan. Biasanya orang-orang memanggil anak laki-laki hanya dengan belakangnya, Le. Kalau anak perempuan, biasanya orang-orang memanggil dengan sebutan belakangnya, Nduk.

"Iya, Kek. Kalau boleh," ucapku seraya meringis.

"Tentu saja boleh. Di masjid ini juga belum ada yang adzan dhuhur. Silahkan, Le," ujar Kakek itu seraya tersenyum.

Aku mengangkat alis, lalu berjalan ke arah tempat wudhu pria. Setelah berwudhu, aku mengambil mikrofon yang ada di sebuah kamar. Aku pun mulai mengumandangkan adzan.

Masjid ini benar-benar aneh. Setelah aku adzan, tidak ada yang peduli untuk pergi ke masjid. Aku melihat kakek tadi. Beliau berjalan dengan bungkuk-bungkuk menuju tempat wudhu pria. Aku melihat sekeliling. Semua terlihat abai dan tak peduli dengan seruan tersebut. Astaghfirullah. Daerah ini benar-benar aneh dan jauh dari agama.

Aku memilih menunaikan shalat qabliyah dan berdo'a agar kasus ini segera berakhir.

***

Usai shalat, aku menemui kakek tadi. Beliau tengah membersihkan toilet pria. Aku mengerutkan kening. Apa tidak ada yang melakukannya selain orang seperti beliau? Beliau sudah tak pantas melakukannya.

Aku menghampiri kakek itu. Aku ingin menanyakan beberapa hal yang membuat pikiranku menjanggal.

"Kakek," panggilku.

Kakek itu menoleh ke arahku. Aku mengulum senyum.

"Ada apa, Le?"

"Kakek sendiri? Apa tidak ada yang lain untuk melakukannya?" tanyaku seraya membantu kakek itu.

"Saya tidak sendiri. Saya bersama putra dan cucu saya. Putra saya membersihkan toilet pria di lantai atas, dan cucu saya membersihkan toilet wanita."

"Jadi, Kakek sendiri di sini?"

"Iya. Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Saya boleh bantu?"

"Boleh."

Aku dan kakek itu pun memulai membersihkan toilet ini. Membersihkan toilet memang bukan perkara yang mudah bagi laki-laki, tapi karena mungkin kakek itu sudah terbiasa dan aku sendiri juga sudah terbiasa, jadi tidak ada alasan untuk berkata ini sulit.

Sekitar tiga puluh menit toilet ini sudah bersih, kinclong, glowing dan wangi! Bayangkan saja, bahkan lebih glowing daripada wajah-wajah artis di iklan televisi. Hm, mungkin akan lebih cinta suami dibandingkan istri. Ups! Maaf ya, Bapak-bapak!

Aku dan kakek itu duduk di teras seraya mengelap peluh di dahi. Aku menatap kakek itu. Wajahnya tidak terlihat kelelahan. Wajah keriput itu tampak natural dan alami.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang